Maafkan Kami, DR. Herry Suhardiyanto…

Kembali ke Buitenzorg tidak seperti kembali ke kotamu. Yang dicari tidak ada di sini. Yang dibayang-bayangkan tidak juga muncul. Yang diharapkan, mengkhianati. Yang dicemaskan, terjadi.

“Di Rindu Alam puncak, matahari terbitnya keren, Bung!! Dari parkiran mobilnya, kita bisa lihat matahari muncul dari balik gunung.”

Begitu yang dibilang teman saya, seorang dosen harapan masa depan. Seorang PNS Golongan IIIA, tengah mengambil S2. Jujur dia punya sikap. Manis tutur katanya. Di pundaknya kelak, bersandar nasib pendidikan negeri kita.


Sambil dipeluk angin bersuhu teramat rendah, berangkatlah kami dari Bandung pada pagi buta. Kokok ayam belum terdengar. Para bencong pun masih belum bubar. Mereka masih di tengah misi. Dan dari kami bertiga tidak ada satu pun yang sudah mandi.

“Ini Bandung, Bung. Dingin.”

Mobil dinas ditancap gasnya sedemikian rupa. Satu persatu yang menghalangi, berhasil kami lewati. Tidak peduli itu bis atau truk gandengan. Kami sedang mengejar terbitnya matahari.

Dalam satu setengah jam, kami sudah berada di kawasan Puncak, Cianjur. Langit mulai terang dan di arah timur sudah terlihat warna kemerahan. Mobil dinas pun semakin dipaksa bekerja di batas maksimalnya.
“Mari kita manfaatkan mobil dinas ini sebelum bapak saya pensiun dua tahun lagi.”

MenDikNas, maafkan kami.

Tapi penyesalan langsung pupus begitu saja sewaktu Restoran Rindu Alam terlihat oleh pandangan mata. Masih ada 1-2 menit hingga matahari terbit, sepertinya. Mobil pun segera menepi. Lalu…

Lalu…

Lalu…

“Sejak kapan Rindu Alam pindah jadi menghadap ke arah barat, ya…”


Manusia bertenaga uap rokok
*adegan jangan ditiru*


Yah, dimaklumi. Mungkin waktu itu teman saya ini tidak membawa kompas. Atau, dia keliru. Yang dia lihat bukan sun rise, tapi sun tet.

Maka, setelah menggerutu sejenak, perjalanan dilanjutkan menuju Buitenzorg. Cukup satu jam hingga kami tiba di kota.

Dan… Ya, ampun. Suasana pagi di sana sungguh mengerikan. Macet panjang, terutama di jalur menuju Jakarta. Dan jumlah angkotnya sangat mendominasi jalan aspal. Seakan-akan, jalan dibangun memang diperuntukkan bagi mereka sahaja.

“Ini bukan kota hujan. Ini kota angkot. Atau, dulu pernah hujan angkot.”

Begitu yang dijelaskan teman saya. Karena pelancongan sebelumnya dilakukan pada malam hari, kali ini si dosen mulai menjelaskan satu persatu tiap sudut Buitenzorg.

“McD di sini lebih murah daripada di Bandung.”
“Ada dua terminal angkot yang saling berdekatan. Satu milik kotamadya, satu milik kabupaten.”
“Jalan lubang dan becek seperti ini biasa, Bung. Jangan protes. Di depan masih banyak lagi.”
“Itu warung baso paling enak di Buitenzorg. Catat: di Buitenzorg.”
”Polisi di sini baik-baik. Naik motor tanpa helm ngga akan ditilang. Yang ngga boleh, jalan kaki di atas trotoar sambil pakai helm. Disangka ngejek, ntar.”

Pemandangan di luar jendela tidak menarik minat kami. Tapi, tidak apa. Toh, tujuan utama perjalanan ini adalah mengabadikan kampus IPB yang rimbun oleh pepohonan. Terbayang oleh kami hutan semi tropis yang masih perawan dan jalan setapak penghubung antar gedung kuliah di sana. Beserta penghuninya, tentu saja.

Penghuni yang manis, tentu saja. Jenis perempuannya, tentu saja. Tapi, tidak akan kami apa-apakan, tentu saja. Tidak berani, tentu saja.

Menjelang pukul tujuh pagi, kami memasuki pintu gerbang kampus. Bayar seribu rupiah untuk parkir mobil, lalu…

Pagi di Institut Pertanian Buitenzorg. Cahaya matahari malu-malu di sini.

Mereka menyebutnya danau

Jalan setapak menuju Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan


“Suka ada orang gila duduk-duduk di sini kalau saya lewat. Saya bertahan selama ini dengan memikirkan bahwa orang gila itu ialah sebenarnya artis sinetron… yang seksi… seksi sekali… sangat seksi sekali… Ya, betul-betul seksi sekali…”

Keluhan pertama kami di kampus ini adalah sulitnya mencari kantin yang nyaman untuk sekedar minum jus atau ngopi. Juga kantin yang menyediakan asbak. Jadilah kami si turis lokal mengotori lantai dengan abu dan puntung rokok.

Rektor IPB, maafkan.

Tapi, penyesalan justru kembali berubah menjadi keluhan dan gerutuan sewaktu kami mulai menyusuri kampus dengan berjalan kaki. Manis di awal, getir di akhir. Mirip bait lagu kau yang memulai kau yang mengakhiri.

Sementara teman saya si dosen mengikuti kuliah, pada pukul sembilan, berdua kami berjalan kaki di jalan utama kampus. Tidak butuh mobil agar bebas masuk keluar hutan.

Atau kebon, tepatnya?

Di sepanjang jalan, sesekali kami melirik hutan di sisi kanan. Sesekali kami masuk, dan tidak lama keluar lagi karena medan yang terlalu berbahaya. Juga karena sayang sepatu saya baru. T-shirt saya baru. Jaket saya baru. Baru dibeli semalam. Begitu juga yang dikenakan teman saya.

Padahal, masih lama menuju lebaran.

Ini kami sudah berjalan lebih dari satu kilometer, tapi tidak ada lagi yang menarik untuk dipotret. Udaranya tidak ramah, cukup gerah. Keringat bercucuran, banyak nyamuk dan kami tidak tahu jalan di hadapan kami menuju ke mana.

Khawatir tersesat, kami pun mengambil langkah bijaksana, yaitu kembali ke parkiran. Dengan mobil, sekali lagi berputar. Dan… parkir di tempat lain, lalu berjalan kaki lagi. Dan… panasnya. Gerahnya. Mampir sebentar ke sebuah kantin untuk minum.

“Apa???!! Tidak jual Teh Botol????”

Pilihan pun jatuh pada, konon, itu jus jeruk dan alpukat. Dan… kembali ke mobil, parkir di tempat semula. Dan… menggerutu.

Sudah pukul sebelas, si dosen belum muncul juga. Kami mencoba bersabar.

Tunggu sebentar. Saya lagi Facebook-an…

Itu pesan pendek dari teman saya si dosen yang sedang menempuh beasiswa menimba ilmu S2 di IPB.


Buitenzorg, 04 April 2009

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

5 Hal Penting Tentang Saya

Maaf, Tak Diundang