1000 Miles to KUA
Sebagai seorang
calon suami dan calon ayah yang penuh dedikasi dan komitmen, mengurus KTP harus
dilakukan sendiri, dong. Bersih dan lurus. Tidak bengkok disertai pelicin. Kalau
mengurus KTP saja tidak becus, bagaimana dalam mengurusi badan yang gemuk?
Ups…
Ini hari minggu,
dan pada pukul delapan saya sudah mandi. Biasanya, minggu pagi saya gunakan
sebaik-baiknya untuk mencuci baju atau tidur sepanjang hari. Tapi tidak kali ini.
Saya fokuskan untuk membuat KTP asli.
Sarapan nasi
goreng dibuatkan si Mba… yang saya lupa namanya. Padahal, kami sudah hidup
nyaris lima tahun di bawah atap yang sama. Tapi, apalah artinya nama, bukan?
Jengkol tetap bau meski kita ganti namanya jadi mawar.
Bukan, Mba. Mba ngga bau sama sekali. Yah, maafkan
saya jika becanda berlebihan. Maklum. Anak muda.
Seusai sarapan,
motor saya keluarkan dari garasi. Sebagai pengemudi hebat, saya periksa air
akki terlebih dahulu. Isinya sudah nyaris kering. Ah, peduli. Pak RT dan Pak RW
di dekat rumah lama sudah menunggu. Berangkatlah saya dengan penuh semangat.
Entah kenapa saya
begitu semangat hari ini. Juga, hari kemarin. Juga, beberapa hari sebelumnya.
Saya pikir, ini mungkin disebabkan oleh pengaruh alkohol. Tapi setelah
direnungkan kembali, itu tidak mungkin. Alkohol tidak menyebabkan orang yang
meminumnya menjadi bersemangat. Alkohol menyebabkan orang yang meminumnya masuk
neraka. Itu yang ustadz saya bilang sewaktu saya kecil. Eh, bukan. Salah, bukan
begitu. Ustadzah yang benar, soalnya dia perempuan.
Ketika sampai di
rumah yang dituju, Pak RT yang saya temui rupanya sudah tidak lagi menjabat
sebagai Ketua RT. Tidak pula naik jabatan menjadi Ketua RW. Tidak pula dimutasi
dari Ketua RT 05 menjadi Ketua RT 02. Tapi saya tidak patah arang. Masa, baru
diberi sedikit kesulitan sudah mundur menyerah? Hidup itu harus seru, sehingga
bisa bercerita pada anak-cucu.
Karena itu,
perjalanan dilanjutkan menuju Ketua RT baru. Namanya Pak Heri. Atau, Herry? Ah,
saya tidak akan mempermasalahkannya. Biarlah mereka para sarjana hukum saja
yang sibuk mengurusi hal seperti itu.
“A-N-D-Y atau
A-N-D-E-E?” tanya Pak Heri (atau Herry) sewaktu menulis surat keterangan
pindah.
Berikutnya, saya
bawa surat tersebut ke rumah Ketua RW untuk meminta tandatangannya. Saya
beruntung, rumah beliau sangat teramat dekat. Tinggal menyeberang. Sungguh
kebetulan yang diatur-Nya, pagar rumah Pak RW terbuka. Saya pun melangkah masuk
dan ucapkan salam.
Bagai gayung tak
bersambut. Ibarat menjaring
air. Bertepuk sebelah tangan. Mengharap bulan membalas senyum. Bermimpi naik
gaji. Sepuluh salam saya tak satupun dijawab orang. Mungkin seluruh penghuni
rumah beserta isinya sedang berasyik-masyuk. Tidak boleh putus asa, hibur saya
dalam hati. Tuhan bersama orang-orang yang bersabar.
Atas kebaikan Pak
Heri (atau Harry), saya diberi tahu letak rumah Sekretaris RW. Konon, beliau
bisa membantu karena beliaulah si pemegang stempel. Saya pun menuju ke sana dan
berharap pada-Nya agar si sekretaris yang akan saya temui ini bukan tipe
sekretaris seksi penggoda iman.
Keringat mulai
banjiri tubuh satu-satunya ini. Matahari sudah naik tinggi ketika rumah yang
dimaksud terlihat. Saya ketuk pintu dan ucapkan salam, lalu pintu pun terbuka.
Tuhan mengabulkan doa saya. Si Sekretaris RW adalah seorang bapak-bapak
berkumis tebal. Usianya mungkin sudah lewat empatpuluh. Iman saya tetap kokoh
di tempatnya.
“Stempelnya
sedang dipinjam Pak RW.”
.
.
.
Hmm…
Ini seperti
dejavu. Saya pernah mengalami ini. Sungguh. Yah, mirip banyak sekali. Beda
sedikit jangan disinggung. Kita kan akrab.
Sungguh mirip
dengan kejadian enam tahun lalu. Sewaktu saya baru saja pindah dari tempat
tinggal lama menuju tempat tinggal baru. Dan waktu itu, atas kejadian tersebut,
saya memutuskan untuk menggunakan KTP palsu.
Itulah yang
membuat saya tidak bisa mengurus passport (atau paspor?), baru-baru ini ditolak
pihak bank saat mencairkan chek (atau cheque?), serta tidak mendapat hak pilih
dalam pemilu (atau pemillu?).
Hiks…
Wahai, Pak RW.
Cepatlah kembali.
Saya mau kawin.
“Now,
son, you don’t want to drink beer. That’s for daddies and kids with fake IDs.”
[Homer Simpson]
Bandung, 05 September 2010