Alif Ba Ta
Dan tiba-tiba
saja saya bilang,
“Di hari yang cerah ini, ijinkanlah saya membaca satu dua bait puisi
cinta.”
“Ijin diberikan.”
Begitu kamu
menjawab pelan.
“Apa?”
Tanya saya,
pura-pura tidak mendengar.
Kamu meraih
secarik post-it dan menuliskan sesuatu di sana. Diserahkannya pada saya dengan acuh tak acuh:
Surat Ijin Membaca Puisi. Lengkap
dengan tandatangan. Yang kurang hanya cap jempol saja.
Mengatur nafas,
saya perhatikan kamu sesaat. Terlambat saya sadari bahwa Tuhan telah menitipkan
padamu kecerdasan, selain bola mata yang begitu menarik, tentunya. Tapi, yang
namanya titipan itu, harus dipergunakan dan dipelihara baik-baik, ya. Jangan
digadai ke mana-mana. Atau dipakai lirik-melirik sembarangan. Juga bukan untuk
dikedip-kedip pada laki-laki tidak dikenal.
“Ehm.”
Kamu berdehem,
mengais perhatian.
“Ya?”
Saya bertanya dengan
pandangan dermawan.
“Surat ijin itu ada masa berlakunya, Andi. Jangan terlalu lama membuat
saya menunggu.”
Kamu
memperingatkan saya. Ada nada mengancam dan tidak main-main yang berhasil saya
tangkap di sana.
Meski begitu, sepertinya
kamu sungguh tahu jika saya paling senang sewaktu nama saya disebut penuh.
Apalagi kalau kamu bersedia menambah sebutan “Pak” di depannya. Padahal, belum
terlalu lama kita saling kenal. Mungkin di kehidupan sebelumnya, kita adalah
saudara kembar.
Kamu duduk di
situ, saya berdiri di sini. Memandang langit, mencoba mencari kata-kata
pembuka. Mungkin awan bagus juga, keras saya berpikir. Atau gunung hijau di
kejauhan? Sayang, di sini tidak ada pantai. Dan masih terlalu lama sampai
matahari tenggelam.
“Boleh sambil merokok?”
Saya bertanya,
mencari alasan untuk berlama-lama.
Kamu mengangguk,
memandang saya tanpa berkedip.
Aih. Padahal sekiranya menolak, masih banyak waktu untuk berdebat. Rokok pun
dibakar, dan asapnya mulai keluar-masuk paru-paru.
“Kamu mau?”
Tidak bermaksud
kurang ajar, lho. Juga bukan sedang mencari perkara.
Masih menatap,
kamu menggelengkan kepala dan tangan mengelus perut.
“Tidak baik untuk janin.”
“Sungguh?”
“Iya. Itu tertulis di kotak pembungkusnya, Pak Andi.”
Setengah tidak
percaya, saya periksa si kotak pembungkus rokok di tangan kiri. Dan saya
dapatkan peringatan itu.
Wow. Lagi-lagi,
kamu benar. Selalu saja kamu perhatikan banyak hal. Hal besar, hal kecil tidak
pernah luput dari perhatian kamu. Kamu hanya tidak tertarik memperhatikan
kekurangan orang lain. Itu saja.
Saya pun membuat keputusan yang saya nilai teramat bijaksana, yaitu mengambil
jarak lebih jauh dari kamu. Saya mundur. Sepuluh langkah. Dua puluh langkah.
Berusaha agar si asap tidak kamu hisap.
“Segini, cukup?!”
Saya berteriak.
“Apa? Tidak terdengar!”
Kamu balas
berteriak.
Aih. Padahal asap rokok tadi kan tidak berbahaya bagi pendengaran, lalu kenapa
tiba-tiba suara saya tidak sampai ke telinga kamu.
Tadinya, saya
hendak maju dua atau tiga langkah. Tapi setelah dipikir-pikir, ternyata kamu
cantik juga jika dipandang dari jarak segini. Bukan. Bukan berarti jika sedang
berdekatan, kamu jadi tidak menarik. Bukan itu. Jauhkan pikiran itu segera.
Saat ini juga. Maksud saya adalah, saya berhasil melihat sesuatu lain sewaktu kita
berjauhan. Ada sudut warna dan cahaya baru yang berhasil saya tangkap.
Sayang, saya
tidak bawa kamera.
Eh, ralat.
Sayang, saya
belum punya kamera. Jika punya, sudah saya abadikan kamu saat ini juga. Saya
cetak besar-besar, lalu saya pampang di kamar. Biar dilepaskan saja itu poster
What Women Want.
“Pak Andi, kapan mulainya?!”
Ya, ampun.
Ditunggu, rupanya. Saya pikir kamu sudah lupa. Ternyata kamu punya daya ingat
juga, ya. Maaf. Tapi, senang rasanya menjadi lelaki yang ditunggu.
“Baiklah, saya mulai sekarang, ya. Siap?”
Kamu mengangguk.
“Suara saya jelas terdengar?”
“Iya. Cepat mulai!”
“Sungguh?”
“Iya.”
Saya pun mulai
menghitung aba-aba dalam hati. Satu, dua. Belum juga keluar kata-kata. Lima… Keringat dingin
mulai bercucuran. Sepuluh... Dan suara adzan ashar di masjid sebelah
menyelamatkan saya.
“Nanti dilanjutkan, ya. Waktunya untuk sembahyang.”
Saya berjalan
mendekat, dan kamu bangkit tanpa bisa menolak.
biar ibu yang ajarkan melukis
bapak yang ajarkan menulis
lalu kanak-kanak kita
membaca alif ba ta
dengan lancarnya
Bandung, 11 Oktober 2009