Kampung Halaman Aisa
Aisa,
Pernahkah kamu melihat bintang jatuh?
Tak usah dijawab, sayang.
Karena bapak tahu jawabannya adalah
pernah.
Pasti pernah.
Dan sandainya ternyata barusan bapak sok
tahu,
maafkan, ya.
Maukah kamu memaafkan ayahmu satu-satunya
ini?
Yang tak ada duanya itu…
Yang kasihnya padamu melimpah seperti
banjir itu…
Yang sayangnya padamu tak dapat dikalkulasi
itu…
Janganlah karena bapak sudah sok tahu,
lantas hubungan kita berakhir sampai di
sini.
Ada pun kenapa bapak mengajukan pertanyaan
tadi,
itu tidak ada hubungannya dengan surat
bapak kali ini.
Bapak hendak bercerita tentang kampung
halaman dari mana bapak berasal.
Asal usul dan bagaimana ayahmu ini
dibesarkan.
Maafkan jika bapak sudah tidak nyambung,
sayang.
Maukah kamu sekali lagi memaafkan?
Aih.
Bapak harap kamu tidak malu punya ayah
seperti bapak.
Sudah sok tahu, tidak nyambung pula…
Bagaimana lagi,
kebiasaan itu sudah tumbuh sejak bapak
masih SMA.
Belasan tahun yang lalu.
Waktu bapak masih gagah-gagahnya.
SMA itu Sekolah Menengah Atas, sayang.
Seragamnya putih abu.
Yah, sekedar informasi sambil lalu.
Bapak ceritakan di sini karena bapak tidak
tahu
apakah namanya nanti di zamanmu.
Kembali ke cerita bapak tentang bintang
jatuh,
semalam bapak melihatnya.
Bapak melihat bintang jatuh, sayang.
Jatuh dia dari langit malam.
Segera bapak tangkap
lalu bapak serahkan.
Bukan, Aisa.
Bukan diserahkan pada yang berwajib.
Tapi,
pada ibumu.
Makin
senang dia pada bapak.
Juga
makin cinta, tentunya.
“And
just in case you feel you wanna hold her, you’ll have a pocketful of
starlight..”
[Perry Como, Catch A Falling Star]
Rangkasbitung, 20 Januari 2009