Ke Kalor Ke Kidul
Sudah berapa lama kita tidak saling menyapa?
Huss, tidak usah dihitung.
Akan habis jari tangan plus kaki kamu, nanti.
Mungkin akan butuh sempoa.
Dalam hitung-menghitung,
kamu memang bukan bagiannya.
Karena itu, kamu diam saja, ya.
Kali ini biarkan saya bercerita.
Duduk manis sana.
Hey, jangan jauh-jauh.
Saya ngga mau kalau mesti teriak-teriak, nantinya.
Begini.
Kamu masih ingat waktu pertama kali kita bertemu?
…
Ah, lama sekali kamu menjawab.
Sudah tidak pandai berhitung,
juga tidak pandai mengingat.
Baiklah, saya kasih tahu saja.
Tapi cuma kali ini, ya.
Kali lain, tidak.
Waktu itu,
…
Hey, kamu jangan melamun!
Dengar baik-baik.
Waktu pertama kali kita bertemu,
kita masih sama-sama bloon.
Ah, salah.
Saya masih sedikit lebih pintar, sebenarnya.
Hanya sedikit, jangan protes.
Kenapa saya sebut bloon?
Tidak usah dijawab.
Kan sudah saya bilang, saya tidak mau disela.
Kenapa saya sebut bloon?
Karena dahulu
masing-masing kita merasa diri ini sudah pintar.
Merasa sudah tahu segala sesuatunya.
Entah tersambat oleh apa,
kita seringkali terburu-buru mengambil kesimpulan
atas apa yang kita alami.
Diberi kesenangan, dikiranya anugerah.
Dikasih kesulitan, disangka tengah dicoba-Nya.
Tidak tahu bahwa bisa saja keadaan justru sebaliknya, bukan?
…
Apa? Sampai saat ini, kamu masih tidak tahu hal sesederhana itu?
Tuh, kan, persis seperti yang tadi saya bilang.
Saya memang sedikit lebih pintar.
Bahkan, jauh lebih pintar.
Iya, dari kamu.
...
Kesimpulannya?
Aih.
Kenapa segala sesuatu harus disimpulkan, sih?
Tidakkah kamu pernah biarkan sesuatu berjalan apa adanya
dan menitipkannya pada waktu?
…
Apa?
Kamu ngga ngerti maksud omongan saya?
Aih.
Kenapa segala sesuatu harus buru-buru dimengerti, sih?
...
Apa? Saya ngalor-ngidul?
“A conclusion is
simply the place where someone got tired of thinking.”
[Anonymous]
Bandung, 27 Januari 2009