Kampung Sexy Dancers
Banyak hal yang
terjadi dalam satu-dua minggu terakhir ini. Sungguh banyak. Pengetahuan saya
jadi bertambah dan wawasan saya semakin luas. Termasuk pengalaman yang sulit
dicari bandingannya. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan saya atas kesempatan
yang masih saja diberikan.
Hari kamis lalu
saya terbang ke Garut. Bukan terbang, sebenarnya. Tapi tidak apa. Biar sedikit
gaya.
Ada sebuah
talkshow yang harus saya hadiri di sana. Tidak harus, sih. Terserah saya saja.
Saya kan orang merdeka. Kalau saya mau, ya, silakan. Kalau pun saya menolak, tidak
apa-apa. Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa memaksa saya untuk melakukan
sesuatu kecuali Dia yang di atas sana. Tidak juga uang atau perintah atasan.
Dan tidak seperti
waktu di masa-masa sekolah, bukan sekedar kehadiran yang dibutuhkan. Tapi lebih
dari itu. Di acara talkshow tersebut, saya diberi peran sebagai pembicara.
Sebenarnya,
istilah “acara talkshow” itu keliru. Atau salah. Cukup “talkshow”, tidak perlu
ditambah dengan embel-embel kata “acara”. Tapi, di jaman begini, orang banyak
tidak peduli.
Saya pun tidak
sekedar berbicara. Kadang-kadang, tertawa. Sesekali, menganggukkan kepala.
Bersama seorang
penulis wanita beranak satu, kami bercerita di depan puluhan anak SMP tentang
bagaimana menulis. Diantara
mereka ada yang mirip Agnes Monica dan Chintami Atmanegara. Tentu, Agnes dan
Chintami sewaktu mereka masih remaja.
“Menulis itu sangat mudah, Ade-ade. Kecuali
menulis kaligrafi Arab dan huruf Cina.”
Garut adalah
salah satu kampung halaman saya. Tempat saya dititipkan sewaktu kecil. Setiap
liburan sekolah. Tempat saya pulang berlebaran. Di sana, ibu saya dilahirkan.
Di sana pula kedua orangtua saya berjumpa. Karena itu, pantaslah kiranya jika
saya tahu benar bagaimana budaya penduduknya di masa lalu.
Dan sebagai
penganut paham ultra-konservatif, saya sangat dikejutkan oleh foto-foto pengisi
acara Gebyar Buku Murah Garut itu di hari Minggu sebelumnya: Garut Sexy
Dancers.
Sungguh, saya
sangat syok. Terkejut. Sampai-sampai saya mengelus dada dibuatnya.
Dada saya. Bukan
dada ayam.
Garut, kampung
halaman saya itu…
Kota santri itu… kini memiliki koleksi tim sexy dancer.
Dan sangat sexy.
Atau seksi.
Entah kenapa,
saya merasa sedikit kecewa. Juga marah. Seperti melihat adik sendiri mempertontonkan
tubuhnya di muka umum.
Kalau Bandung
Sexy Dancer… Jakarta Sexy Dancer… bolehlah saya ikut menonton.
“Only
unhappy people are bad dancers.”
[Lisa, 9 Songs]
Bandung, 10 Februari 2009