Masih Ada, Om
Jika berbicara
tentang pekerjaan kantor, saya seperti berhadapan dengan tembok, atau serasa
laksana benteng catur yang meringkuk saja di kotak paling sudut. Inilah
satu-satunya bagian dari dunia saya di mana saya sungguh merasa sepi berada di
sana. Nyaris tak ada teman untuk saling bercerita, berdiskusi atau sekedar
mengeluh akan soal yang begitu sulit dipecahkan sendiri.
Tidak pernah
terpikir dahulu bahwa perusahaan tempat saya bekerja kelak orang banyak ragu
akan eksistensinya.
“Masih ada, gitu? Bukannya sudah bangkrut?”
Tidak pernah
terpikir dahulu bahwa pihak bank akan ragu pada karyawan perusahaan tempat saya
bekerja untuk memberikan pinjaman atau kredit cicilan.
“Ada pekerjaan lain?”
Ya. Bahkan pernah
di suatu masa, sebuah bank lebih mempercayai profesi pengojeg dibandingkan
profesi saya dalam kelayakan pengajuan cicilan. Bukan saya merendahkan para
pengojeg. Tidak sama sekali, jauh dari itu.
Apakah saya
merasa kecewa? Sedih? Rendah
diri?
Sebagai manusia
biasa, tentu saja, ya. Tapi, kembali saya meyakinkan diri bahwa saya bukanlah
manusia biasa. Kenapa? Karena
saya adalah salah satu dari sedikit sekali dari mereka yang tidak peduli dengan
tuntutan sosial sekitarnya. Karena saya adalah salah satu dari sedikit sekali
dari mereka yang bisa melepaskan diri dari kebergantungan pada hal-hal yang
bersifat kebendaan, trend, dan pendapat banyak orang yang belum tentu benar.
Saya telah memilih untuk menjadi orang bebas dari itu semua.
Meski, mungkin,
baru mencapai tahap pura-pura.
Jadi, setiap kali
ditanya di mana saya bekerja, jawab saya adalah,
“PTDI Masih Ada.”
Dan untuk sekedar
info, gaji kami baru saja naik bulan ini.
“If
you are a minority of one, the truth is the truth.”
[Mahatma Gandhi, Gandhi]
Bandung, 29 Mei 2009