Madjalaysia
Begini mungkin
rasanya berada di tengah-tengah padang savana Texas. Atau gurun-gurun
Australia. Panas luar biasa. Musim kemarau turut membawa lanino, katanya.
Dengan kamera
pinjaman, saya bersama beberapa teman berkunjung ke Majalaya. Bukan Malaysia.
Ma-ja-lay-sya. Desa Cijagra, mungkin lebih tepat. Ini adalah kampung halaman
calon istri dari teman saya yang akan dinikahinya pada November mendatang. Kami
berencana mencari lokasi yang tepat untuk mengabadikan si kedua calon pengantin
sebagai foto pre-wedding mereka.
”Tidak boleh
ada adegan pelukan. Kalian belum resmi menikah.”
Begitu salah
seorang teman kameramen memberi syarat pada keduanya. Mungkin karena iri.
Maklum, setelah diputuskan pacar lamanya, beliau belum juga mendapatkan
pengganti. Saya sendiri merasa setuju dan mendukung syarat beliau tersebut.
Soalnya, tidak baik berpelukan di muka kami.
Kami memang
iri.
Sawah kami
susuri. Jalan setapak. Adegan demi adegan pun dilakukan. Kami kejar matahari
terbenam. Dan kami sempatkan untuk naik delman di mana sang kuda dengan tidak
sopan melemparkan ’sesuatu’ pada seorang teman saya yang memilih duduk di
samping pak kusir yang sedang bekerja.
”Pahit!!!”
Begitu katanya.
Padahal, pasti ada rasa asam juga.
Di luar itu
semua, adalah merupakan sebuah kebetulan jika ternyata kampung ini tidak jauh
lokasinya dengan kampung halaman kamu. Ada kolamnya, kata kamu. Ada saung juga,
serta kebun stroberi yang terancam diubah menjadi Alfamart.
Untuk mencapai ke
sana, cukup naik delman selama setengah jam. Bahkan, lima menit pun bisa. Ah,
tidak. Satu menit kurang, malah. Asalkan, delmannya harus kereta kencana milik
Satria Yudistira yang mengapung beberapa senti di atas tanah.
Mirip kereta
Siskamling di Jepang sana.
”Kalau
saungnya sudah jadi dan mama ada di sana, kita mampir, ya. Mancing. Saat ini
sih, kolamnya baru ber-air. Belum ber-ikan.”
Madjalaysia, 03 Agustus 2009