Aisa, Ibu, Nikotin dan Kolesterol
Sayang, malam mulai mencair ketika bapak menulis ini. Sementara besok,
tumpukan pekerjaan harus bapak tuntaskan. Seperti batu bata, kamu tahu. Ah,
kamu masih muda, sulit untuk mengerti semua. Biarlah satu persatu terurai
dengan sendirinya. Tanpa kami, sebagai orangtua, paksa kamu untuk mengerti
segala sesuatunya.
Aisa, sedang apa ibumu? Apakah sedang memasak di dapur seperti biasa? Masihkah
ia mencoba resep andalannya itu, kue kering dengan keju melimpah ruah? Meski
ayahmu dilarangnya menghisap nikotin, dia senang sekali menyuapi kita dengan kolesterol.
Tapi, jangan sekali-kali kamu adukan hal ini, ya. Nikotin dan kolesterol, dua
hal yang paling berarti bagi bapak setelah kalian berdua.
Kamu, tahu Aisa. Sewaktu ibumu masih belum menyadari takdir kami, sewaktu kamu
masih di alam ruh tanpa tahu bagaimana manis pahitnya kehidupan dunia, bapak
selalu bertanya-tanya, apakah kelak kamu akan bangga dengan bapak. Apakah kamu
akan membandingkannya dengan ayah tetangga? Dengan Budi Dharma? Dengan John
Lennon? Dengan Jimmy Maruli Alfian? Dengan … Ahmad Dhani sekalipun?
Aisa, sayang. Bapak mungkin bukan siapa-siapa dibandingkan mereka. Tapi,
sewaktu kamu membaca catatan ini, ada satu hal yang sangat bapak yakini.
Cuma bapak yang bisa menghiasi rumah kita dengan penuh tawa.
Bandung, 18 Oktober 2008