1000 Miles to KUA

Setelah menggunakan KTP palsu selama enam tahun, hari ini saya memutuskan untuk membuat yang asli. Original. The real one. 

Ada pun kenapa akhirnya saya berubah pikiran, itu tidak lain dan tidak bukan adalah karena syarat dari KUA. Bagi mereka yang hendak menikah, KTP asli merupakan modal utama. Di samping rumah, mobil, karir dan uang tunai, tentunya. Masa, mengawali rumah tangga dengan kepalsuan?

Sebagai seorang calon suami dan calon ayah yang penuh dedikasi dan komitmen, mengurus KTP harus dilakukan sendiri, dong. Bersih dan lurus. Tidak bengkok disertai pelicin. Kalau mengurus KTP saja tidak becus, bagaimana dalam mengurusi badan yang gemuk?

Ups…

Ini hari minggu, dan pada pukul delapan saya sudah mandi. Biasanya, minggu pagi saya gunakan sebaik-baiknya untuk mencuci baju atau tidur sepanjang hari. Tapi tidak kali ini. Saya fokuskan untuk membuat KTP asli.

Sarapan nasi goreng dibuatkan si Mba… yang saya lupa namanya. Padahal, kami sudah hidup nyaris lima tahun di bawah atap yang sama. Tapi, apalah artinya nama, bukan? Jengkol tetap bau meski kita ganti namanya jadi mawar.

Bukan, Mba. Mba ngga bau sama sekali. Yah, maafkan saya jika becanda berlebihan. Maklum. Anak muda.

Seusai sarapan, motor saya keluarkan dari garasi. Sebagai pengemudi hebat, saya periksa air akki terlebih dahulu. Isinya sudah nyaris kering. Ah, peduli. Pak RT dan Pak RW di dekat rumah lama sudah menunggu. Berangkatlah saya dengan penuh semangat.

Entah kenapa saya begitu semangat hari ini. Juga, hari kemarin. Juga, beberapa hari sebelumnya. Saya pikir, ini mungkin disebabkan oleh pengaruh alkohol. Tapi setelah direnungkan kembali, itu tidak mungkin. Alkohol tidak menyebabkan orang yang meminumnya menjadi bersemangat. Alkohol menyebabkan orang yang meminumnya masuk neraka. Itu yang ustadz saya bilang sewaktu saya kecil. Eh, bukan. Salah, bukan begitu. Ustadzah yang benar, soalnya dia perempuan.

Ketika sampai di rumah yang dituju, Pak RT yang saya temui rupanya sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua RT. Tidak pula naik jabatan menjadi Ketua RW. Tidak pula dimutasi dari Ketua RT 05 menjadi Ketua RT 02. Tapi saya tidak patah arang. Masa, baru diberi sedikit kesulitan sudah mundur menyerah? Hidup itu harus seru, sehingga bisa bercerita pada anak-cucu.

Karena itu, perjalanan dilanjutkan menuju Ketua RT baru. Namanya Pak Heri. Atau, Herry? Ah, saya tidak akan mempermasalahkannya. Biarlah mereka para sarjana hukum saja yang sibuk mengurusi hal seperti itu.
“A-N-D-Y atau A-N-D-E-E?” tanya Pak Heri (atau Herry) sewaktu menulis surat keterangan pindah.

Berikutnya, saya bawa surat tersebut ke rumah Ketua RW untuk meminta tandatangannya. Saya beruntung, rumah beliau sangat teramat dekat. Tinggal menyeberang. Sungguh kebetulan yang diatur-Nya, pagar rumah Pak RW terbuka. Saya pun melangkah masuk dan ucapkan salam.

Bagai gayung tak bersambut. Ibarat menjaring air. Bertepuk sebelah tangan. Mengharap bulan membalas senyum. Bermimpi naik gaji. Sepuluh salam saya tak satupun dijawab orang. Mungkin seluruh penghuni rumah beserta isinya sedang berasyik-masyuk. Tidak boleh putus asa, hibur saya dalam hati. Tuhan bersama orang-orang yang bersabar.

Atas kebaikan Pak Heri (atau Harry), saya diberi tahu letak rumah Sekretaris RW. Konon, beliau bisa membantu karena beliaulah si pemegang stempel. Saya pun menuju ke sana dan berharap pada-Nya agar si sekretaris yang akan saya temui ini bukan tipe sekretaris seksi penggoda iman.

Keringat mulai banjiri tubuh satu-satunya ini. Matahari sudah naik tinggi ketika rumah yang dimaksud terlihat. Saya ketuk pintu dan ucapkan salam, lalu pintu pun terbuka. Tuhan mengabulkan doa saya. Si Sekretaris RW adalah seorang bapak-bapak berkumis tebal. Usianya mungkin sudah lewat empatpuluh. Iman saya tetap kokoh di tempatnya.

“Stempelnya sedang dipinjam Pak RW.”
.
.
.
Hmm…
Ini seperti dejavu. Saya pernah mengalami ini. Sungguh. Yah, mirip banyak sekali. Beda sedikit jangan disinggung. Kita kan akrab.

Sungguh mirip dengan kejadian enam tahun lalu. Sewaktu saya baru saja pindah dari tempat tinggal lama menuju tempat tinggal baru. Dan waktu itu, atas kejadian tersebut, saya memutuskan untuk menggunakan KTP palsu.

Itulah yang membuat saya tidak bisa mengurus passport (atau paspor?), baru-baru ini ditolak pihak bank saat mencairkan chek (atau cheque?), serta tidak mendapat hak pilih dalam pemilu (atau pemillu?).
Hiks…



Wahai, Pak RW.
Cepatlah kembali.
Saya mau kawin.



“Now, son, you don’t want to drink beer. That’s for daddies and kids with fake IDs.”
[Homer Simpson]

Bandung, 05 September 2010

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan