Ketemu Artis

Dua minggu yang lalu saya mengantar seorang teman berinisial Z untuk mengikuti audisi sebuah film layar lebar di Jakarta. Seperti artis-artis beken lain, yang karirnya justru berawal “cuma nganter temen casting”, dengan penuh harap, pengalaman akting nol, ongkos pergi tanpa pulang, kami berdua pun berangkat.

Dollywood… We’re comin!!

Untuk menghabiskan waktu selama di perjalanan menggunakan kereta, Z meminta saya menyusun speech seandainya beliau nanti mendapatkan piala Citra-nya untuk pertama kali. Tentu saja, saya tempatkan nama saya di urutan pertama ucapan terimakasih. Dia juga bilang bahwa menjadi bintang film akan membuka cita-citanya menjadi RI-1.


Sebuah cita-cita yang agung!!

Sesampainya di tujuan, saya terheran-heran. Apa yang saya lihat berbeda dengan apa yang saya bayangkan sebelumnya tentang sebuah tempat audisi. Dimana gadis-gadis ABG cantik nan seksi itu? Selidik punya selidik, ternyata mereka sedang syuting. Sedikit kecewa, saya duduk di ruang tamu, sementara teman saya mengikuti audisi di ruang yang lain.

Seorang perempuan berambut panjang masuk saat lima belas menit menjadi waktu yang menyebalkan untuk menunggu. Wajahnya lumayan cantik untuk seorang figuran atau calon bintang. Dia duduk di sebelah saya.

“Hai. Ikut audisi juga?” tanya saya.

Perempuan itu cuma senyum-senyum tidak jelas. “Nggak,” jawabnya. “Aku baru balik syuting.”

“Sinetron?”

“Bukan. Film.”

“Pasti film pertama,” tebak saya tanpa malu.

“Yang ke-empat.”

“Ooooohhhh….”

Saya agak ragu-ragu. Semenit kemudian saya pandangi wajahnya dan mencoba mencocokkan dengan wajah-wajah artis di benak saya. Kemudian saya pun teringat pernah menonton salah satu filmnya.

“Saya ingat. Kamu… Dina Sastro, kan?

“Bukan. Dian,” selanya membetulkan.

“Iya. Dian maksud saya. Saya pernah nonton film kamu. Apa, ya… Mmmm… ABCD atau apalah. Pokoknya film ngga terkenal kan?”

“AADC,” selanya lagi. Dan kali ini saya dapat menangkap mimik memusuhi di wajahnya.

“Maaf… saya ngga bermaksud…,” kata saya mencoba memperbaiki sikap.

Kami berdua terdiam lagi beberapa menit. Suaranya yang cukup merdu memecah kesunyian. “Siapa namanya?”

“Saya?”

“Siapa lagi?”

“Saya datang dengan teman sa…”

“Maksudnya, nama kamu siapa?” tanyanya dengan kesal.

“Andi. Maaf… bercanda, Dian.”

“Kamu ikut audisi?”

“Ngga. Cuma nganter. Ehm… saya penulis novel,” kata saya sedikit memberi penekanan pada dua kata terakhir.

“Waahhh… novel? Saya suka sekali baca novel. Terutama novel-novel Indonesia yang ditulis penulis-penulis muda. Tunggu… biar saya tebak. Novel kamu… Jomblo?”

“Bukan.”

“GMC?”

“Bukan.”

“Mmmm… Lovely Luna?”

“Bu… kan.”

“Waduh. Apa, dong… Playboy Kaleng?”

“Bukan. Novel saya… always, Laila,” kata saya mulai sedikit kesal.

“Always… apa tadi?”

“Always, Laila.”

“Oohhh…”

“Sudah pernah baca?”

Dian Sastro menggeleng. “Belum. Baru, ya?”

“Sudah terbit enam bulan dan masuk cetakan ke-empat.”

“Maaf. Saya belum baca. Malah belum pernah denger,” katanya sambil pamit pergi.


Bandung, 01 May 2005

Comments

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan