Jalangkung atau Maling

Setiap orang bebas untuk datang dan pergi dari kehidupan orang lain. Jaman demokrasi, gitu. Dalam hal ini saya setuju-setuju saja. Asalkan dengan cara yang sopan, tentunya. Mesti ada ketuk pintu. Ada permisi. Termasuk berpamitan untuk sekedar basa-basi. Biar tidak dikira jalangkung. Datang tak diundang, pergi tak diantar. Juga biar tidak digebuki masa layaknya pencuri alias maling.

Beberapa minggu yang lalu, seseorang mendobrak pintu kehidupan pribadi saya dengan cara dan gaya lama. Berondongan sms, e-mail dan telepon. Saya—yang meski sombong, berintelegensi di atas rata-rata, dan terbiasa memilih bertemu muka daripada berpetualang di dunia maya—tidak kuasa untuk menahan itu semua. Akhirnya, ia terbiarkan masuk dan mengacaukan dimensi—yang saya sebut—xlindosat.


Sampai di sini, tidak ada yang salah, memang. Bahkan terasa cukup menyenangkan. Seperti saling membangunkan di tengah malam, “say hi” pada dini hari, hingga sekedar menanyakan menu makan. Ditambah sedikit mencampuri urusan pribadi, sekali-sekali.

Namun, tiba-tiba dia pergi begitu saja. Wussss. Wusss. Preettt.

Bukan menghilang. Karena bisa terkira tubuhnya berada di mana dan sedang melakukan apa. Dia hanya pergi, meninggalkan jejak kaki yang masih basah hingga saat ini. Pergi. Tanpa pamit. Tanpa permisi. Seperti jalangkung saja. Atau pencuri alias maling.

Tadinya, saya hendak mengejar. Atau sekedar membuntuti. Tapi, please dong. Saya memang miskin, tapi sombong!




Eh, udah lebaran, nih…


“Pintu masuk harap ditutup kembali. Pintu maafku selalu terbuka.”
Met, lebaran, ya.

(Ah, mangap sih gampang)

Bandung, 05 November 2005

Comments

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan