Hate My Self
Pernahkah kamu
menjadi orang yang kamu benci? Saat ini saya sedang mengalaminya. Sialan.
Untuk pertama
kalinya dalam hidup ini, dalam satu bulan terakhir, mulut saya selalu menempel
di mikoropon ponsel selama enam jam per hari. Tiga ratus ribu rupiah saya
belanjakan hanya untuk pulsa simpati. Pikiran saya seperti dihantui. Jam tidur
saya semakin menuju ke arah dini hari. Dan tentunya, semua pekerjaan saya jadi
teraba-i. Dan celakanya, saya jatuh hati pada seseorang yang belum pernah saya
temui. Tapi masalah tidak selesai sampai di sini. Saya tidak tahu apakah si
seseorang tersebut adalah perempuan atau … banci.
Rasa curiga
tersebut muncul bukan dengan tanpa alasan. Seperti yang telah banyak diketahui
banyak orang, saya adalah seorang lelaki pengagum kecantikan. Karena itu,
ketika si seseorang tersebut menunjukkan gambar wajahnya, segera saya simpulkan
bahwa titel cantik layak disandanginya. Penilaian saya tidak akan salah.
Sekali-kali, tidak.
Yang menimbulkan
rasa aneh adalah…suaranya. Serak-serak basah. Ditambah pula dengan selalu
tertundanya pertemuan kami berdua. Terjangkiti demam berdarah. Atau salah satu
sepupunya menikah. Dan yang terakhir acara perayaan Paskah.
Karena itu, telah
diputuskan, bulan ini saya tidak akan membeli pulsa. Jika tigaratus ribu itu
saya sedekahkan, atau enam jam per hari saya pakai untuk berkarya, atau saya
tidur tepat pada waktunya, tentu saya akan menjadi lelaki yang jauh lebih baik,
sehat dan kaya.
“It is better to be hated for who you are, than to be loved for
someone you are not.”
[Anonymous]
Bandung, 24 Maret
2008