Batik KORPRI

“Sebenarnya, aku berasal dari masa depan,” tiba-tiba dia berbicara dengan mimik wajah kaku. Tanpa kedip mata, getar sudut bibir dan senyum sedikit pun. Malam itu kami sedang berteduh di balik atap sebuah halte bis seusai menonton film Milk yang ternyata lebih menyebalkan daripada yang dibicarakan temanku, Zoel. Melihat adegan dua lelaki berciuman segera membuat pantatku gelisah sejak pertengahan film diputar.

”Ya. Dan aku berasal dari Planet Namec,” kataku asal sambil menarik lengannya menuju sebuah bis yang mendekat. Tapi aku serasa menarik sebatang pohon beringin. 

”Aku ngga bercanda,” perempuan itu bersikukuh. Kali ini dengan nada yang hampir putus asa. 

Saking terkejutnya, aku hanya mematung di tengah derasnya hujan. Punggungku serasa tertusuk dipelototi mata sopir, kondektur dan seluruh isi penumpang. Setelah akhirnya bis meninggalkan kami, barulah kudekati dia dan kupelototi wajahnya. ”Bodoh!” umpatku, tapi dia sebenarnya tahu bahwa aku tidak bermaksud kasar. ”Itu bis terakhir, tahu! Jika kita terpaksa pulang naik taksi, kamu yang harus bayar ongkosnya!”


Tadinya aku hendak menambahkan bahwa aku juga menyesal telah mentraktirnya menonton film barusan, tapi tidak tega setelah melihat air mata menetesi pipinya. Oh, bukan. Ternyata itu air hujan. Lalu aku duduk dengan kesal sambil bertopang dagu. Dari kemeja hingga kaos kakiku basah kuyup. Dalam sepuluh menit lagi dapat dipastikan aku akan masuk angin. Dan dalam empatpuluh menit ke depan aku sudah tidak sadarkan diri.

”Andi,” dia menyebut namaku. Aku pura-pura tidak mendengarnya. Sekali lagi dia memanggilku, tapi aku tetap bergeming. Mungkin karena merasa pegal terus berdiri, perempuan itu duduk di sampingku dan kurasakan bahu kami merapat. Tak ada yang bicara untuk beberapa lama. Sesekali cahaya lampu kendaraan menyoroti halte yang hanya menyisakan kami berdua.

”Kamu masih ingat kapan pertama kali kita ketemu?” akhirnya kudengar juga suaranya.

Aku hanya menggeleng. Sudah lima menit berlalu dan dia belum juga minta maaf.

”Empat puluh hari yang lalu di resepsi pernikahan Zoel,” lanjutnya tanpa mempedulikan sikapku yang masih tidak ramah.

”Waktu itu rambut kamu lebih panjang, tapi aku masih ingat sepatu yang kamu pakai sama dengan hari ini. Aku yang sedang duduk di pojokan gedung sambil menikmati semangkuk eskrim, melihat sepasang sepatu jelek itu mendekat. Lalu pemiliknya duduk begitu saja di samping aku tanpa menyapa atau permisi. Aku segera menoleh. Ternyata dia hanya seorang cowok dengan kemeja batik yang ukuran, motif dan warnanya sama sekali ngga cocok dipakai.”

Memang. Batik itu milik ayahku sebelum beliau pensiun. Batik KORPRI. Berwarna biru tua dengan motif sayap yang dilengkapi berbagai ornamennya. Sama sekali tidak cocok untuk resepsi pernikahan. Waktu itu aku tidak sadar bahwa aku lebih terlihat tolol daripada retro. Diingatkan demikian, mau tidak mau rasa kesalku sedikit berkurang.

”Kamu tahu,” katanya lagi sambil menggandeng lenganku, ”sebenarnya aku berharap cowok itu mengajak aku berkenalan, atau pura-pura bertanya di mana stand eskrim berada, atau sekedar basa-basi tentang cerahnya cuaca. Tapi, ngga begitu. Ngga sama sekali. Rupanya dia lebih tertarik menghabiskan enam potong kambing guling, dua mangkuk zuppa-zuppa, sepiring besar kentang goreng, plus sepuluh tusuk sate ayam daripada berkenalan dengan gadis cantik yang duduk manis sendirian di sebelahnya.”

”Bohong,” kilahku. Tanpa sadar aku bersuara juga. Bagaimana lagi, hal yang barusan dia bilang itu bohong. Memang benar bahwa dia cantik. Kuakui itu. Cantik sekali, malah. Bahkan ketika dia mengaku-aku dirinya cantik pun aku tidak sanggup memberi sanggahan apa-apa. 

Dan benar juga bahwa aku lebih tertarik untuk makan daripada berkenalan dengannya, atau menjalin percakapan basa-basi, atau sekedar mengingatkannya tentang musim hujan yang akan tiba tidak lama lagi. Tidak. Di seluas pandanganku waktu itu terhidang daging kambing muda yang empuk, sate ayam tanpa lemak, kentang goreng dengan saus terbaik dan zuppa-zuppa yang bisa melelehkan lidah. Dia lupa menyebutkan coto makasar dan sop konro yang juga tidak kalah istimewa. Benar-benar hidangan terbaik dari semua hidangan resepsi pernikahan yang pernah aku kunjungi.

Maka, tidak logis jika aku mau menukarkan itu semua hanya demi mendapatkan nama seorang perempuan, secantik apapun dia. Terlebih lagi aku sudah merogoh empatpuluh ribu rupiah sebagai angpao untuk Zoel dan pengantinnya. Mulanya hendak kuberi limapuluh ribu, tapi aku butuh tambahan sepuluh ribu untuk sebungkus rokok.

”Andi, aku bohong apa?” tanya perempuan itu dengan manja. Nafasnya terasa hangat dan gandengan tangannya semakin erat.

Huh! Dia berbohong jika mengaku duduk sendiri waktu itu. Ada seorang lelaki berjas di sampingnya. Si jahanam itu sesekali mengelus rambutnya, memamerkan kemesraan mereka berdua ke seluruh dunia. Suara canda dan tawanya benar-benar mengganggu telinga. Yang menyakitkan, kusadari bahwa akulah yang sedang mereka jadikan bahan guyonan.

”Lalu terjadilah apa yang seharusnya terjadi,” perempuan itu melanjutkan lagi ceritanya. Kali ini bahuku telah menjadi sandaran kepalanya. ”Cowok bersepatu jelek dan berbatik aneh itu tiba-tiba berdiri dan tanpa sengaja menumpahkan isi gelasnya ke arahku. Kontan, atasan gaun putih yang aku pakai berubah warna menjadi keunguan.”

Aku terkekeh. Sebenarnya, sasaranku lelaki berjas itu, tapi jaraknya terlalu jauh. Siapa yang tidak kesal jika ada dua orang asing yang membicarakan kita selama empatpuluh menit lebih sambil berbisik-bisik diiringi suara tawa tercekik.

”Dengan gugup, cowok itu meminta maaf dan menunjukkan penyesalan yang dalam. Aku dimintanya duduk saja, sementara dia berlari mencari kain lap atau kertas tisyu. Aku menunggu dan menunggu, tapi batik aneh itu ngga juga muncul. Entah berapa lama, sampai akhirnya aku sadar bahwa tinggal aku satu-satunya tamu di sana.”

Aku tertawa lepas. Tentu saja. Waktu itu aku langsung pulang, main PS sebentar, dilanjutkan tidur siang.

”Aku hampiri Zoel dan istrinya, berharap mereka kenal siapa dia. Namanya Andi, kata Zoel. Dari dia pula aku tahu alamat rumahnya.”

Cerita perempuan itu terus mengalir seiring dengan naiknya temperatur tubuhku. Mungkin saat ini sudah mencapai empatpuluh derajar celcius. Mungkin seribu. Kepalaku terasa berat dan sesekali aku bersin. Tapi aku mulai menikmati caranya menceritakan kisah kami.

”Besok paginya, sendirian aku datangi rumah Andi karena cemas kalau-kalau terjadi hal yang buruk padanya.”

Dia berbohong lagi. Dia datang bersama si jahanam itu membawa secarik kwitansi laundry. Selain marah-marah atas menghilangnya aku sehari sebelumnya, mereka berdua menuntut ganti rugi seratus ribu. Tentu saja kutolak. Aku yang meski sudah menjadi sarjana, waktu itu masih dalam proses lamaran kerja. Tidak punya penghasilan apa-apa kecuali belas kasihan orangtua. Sandainya aku punya uang pun, tidak sudi aku membayarnya.

”Ternyata Andi ini adalah sesosok cowok yang sangat ramah. Juga menyenangkan. Aku diperlakukan layaknya seorang tamu agung yang datang dari jauh. Diajaknya aku mengelilingi rumah sambil bercerita tentang asal-usul keluarganya berasal. Kami makan siang bersama, mendengarkan CD Buble bajakan, dilanjutkan ping-pong hingga sore.”

Aku berdehem. Kali ini dengan agak malu kuakui bahwa dia lagi-lagi berbohong. Yang sesungguhnya terjadi adalah aku merobek-robek kwitansi laundry itu dan mengusir mereka berdua dengan kasar. Ada goblok, ada kampret, ada setan. Sementara yang tadi dia ceritakan terjadi pada pertemuan kami di hari berikutnya. Bagaimana lagi, malam itu Zoel menelepon di bandara menuju bulan madu, menyuruhku minta maaf dengan ancaman lamaran kerjaku ditolak perusahaan ayahnya. Tidak punya pilihan, aku menurut. Sejak itu, tak satu pun hari kami lewati tanpa bertemu.

”Kamu pasti ngga tahu alasan kenapa aku ingin selalu kita ketemu.”

Aku menggeleng dan bersin tiga kali. Hidungku mulai basah.
Perempuan itu menatapku sesaat, lalu menunduk sedikit. Pipinya merona merah. Mungkin dia agak malu dengan apa yang hendak dia utarakan. Sementara aku mulai kehilangan konsentrasi dan tubuhku menggigil kedinginan. 


Bersambung ke edisi berikutnya...


“A homosexual with power... that's scary.”
[Harvey Milk, Milk]

Bandung, 01 April 2008


Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan