A Big Sigh


Beberapa bulan terakhir ini adalah masa-masa yang amat melelahkan bagi saya. Selain perut yang semakin tebal dan dompet yang kian tipis, waktu tak ada dan uang tak punya, rasa bahagia pun menjadi hal yang semakin langka. Tujuan menjadi tidak jelas, dan langkah kaki entah hendak ke mana.

Baru sekali terjadi dalam hidup ini, ingin rasanya menyerah saja.


Dibesarkan oleh dua pedagang yang merintis usaha mereka sejak nol besar, rasanya hidup ini selalu dipenuhi dengan semangat perjuangan tanpa kenal lelah. Jatuh-bangun, dalam bentuk apa pun, selalu siap untuk dihadapi. Setidaknya, begitulah yang selama ini selalu saya percaya.

Lalu semua terbuyarkan. Perlahan pada awalnya, lalu tiba-tiba mengalami akselerasi yang sangat tinggi. Seperti… tiba-tiba menemukan kesalahan yang sangat mendasar pada tatanan hidup yang selama ini coba dibangun. Keyakinan luluh-lantah…. keyakinan pada diri sendiri.

Sementara, jika saya tidak sombong, apalagi yang saya punya, bukan?

Semuanya berawal ketika saya mencoba untuk lupa; menghapus ingatan akan sebuah nama dan sebentuk senyuman. Juga gerak-gerik dan gelak tawa. Langkah kaki, postur tubuh serta kedip mata. Tentu saja, termasuk suaranya. Dan tidak ketinggalan hangatnya kopi, semangkuk mie dan agar-agar yang pernah dibuatnya.

Terasa berlebihan, memang. Tapi bagaimana lagi. Ada hal-hal yang berkaitan satu dan lainnya.



“I mean, you’re sittin’ on a winning lottery ticket. You’re too much of a pussy to cash it in.”
[Good Will Hunting]

Bandung, 26 Juli 2008

Comments

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan