Monyet!

Luar negeri itu begitu memikat, ya. Menawan hati sebagian besar orang. Dari mulai ingin kuliah, bekerja, sampai dipinang bule dan diboyong mereka untuk tinggal di sana.

Di luar negeri itu, kotanya bagus. Bangunannya bagus-bagus. Jalannya rapi. Ah, tidak seperti Indonesia. Masyarakatnya pun tertib. Tidak ada yang buang sampah sembarangan. Dan teknologinya maju sekali. Pelayanan masyarakatnya pun luar biasa.

Begitulah cerita mereka sepulang dari luar negeri.

Lalu, bagaimana dengan saya?
Hmm.


Sejak menjelang kelulusan dulu, nyaris semua orang-orang terdekat menganjurkan saya untuk melanjutkan sekolah di luar. Luar negeri, bukan di luar rumah. Ada yang menganjurkan ke Belanda, Jepang, Jerman, sampai ke Korea. Korea bagian selatan, tentunya. Kalau yang di utara, itu bagi mereka yang hendak kuliah di akhirat. Atau menguji kekebalan tubuh.

Dengan gagahnya waktu itu saya menolak. Menampik. Bukan. Bukan karena takut ditolak oleh para calon pemberi beasiswa. Bukan pula karena TOEFL saya rendah (bahkan, saya belum pernah ikut test TOEFL). Dan meski kemungkinannya memang ditolak, tapi bukan karena itu.

Saya sendiri awalnya kebingungan. Seorang saya yang sejak kecil senang sekali menuntut ilmu, dan bercita-cita amat luhur, kenapa tidak tertarik untuk melanjutkan kuliah di luar negeri asing. Di kampus-kampus terbaik di dunia. Di negeri-negeri yang kotanya bagus. Bangunannya bagus-bagus. Jalannya rapi. Ah, tidak seperti Indonesia. Masyarakatnya pun tertib. Tidak ada yang buang sampah sembarangan. Dan teknologinya maju sekali. Pelayanan masyarakatnya pun luar biasa.

Kenapa, ya, saya tidak tertarik?
Kenapa?

Kenapa, wahai diri, kenapa?

Begitu saya bertanya-tanya dalam hati selama beberapa tahun ke belakang. Bertahun-tahun, lho. Lama, itu. Selama bertahun-tahun, saya memikirkan hanya itu dan itu saja. Yang lain tidak. Kamu juga tidak.

Dan, sampai saat ini pun, jawaban itu belum saya temukan. Sampai akhirnya saya menyadari bahwa… tidak usahlah saya memikirkan hal yang tidak-tidak. Masih banyak hal lain dalam hidup yang harus dipikirkan benar-benar. Misalkan, bagaimana mengatasi masalah celana saya yang melorot semua akibat sukses berolahraga. Atau, lagu-lagu apa yang harus saya nyanyikan di acara karaoke mendatang. Atau, menyelesaikan perhitungan luas dan vektor normal persegi sembarang.

Ya...
Mungkin karena saya begitu terikat dengan negeri ini, bumi dan manusianya.
(Aih. Indahnya gaung kata-kata itu.)



“Hindia adalah rimba belantara dan aku hanya salah satu dari jutaan monyetnya.”

[T.A.S, Tetralogi Bumi Manusia]

Bandung, 11 Juni 2009
setengah jam menjelang
tengah malam
sehabis menyimak
mimpi seseorang


Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan