Harry Poter vs Godfather


“Menulis Harry Potter itu lebih sulit daripada menulis Godfather.”
Begitulah kira-kira pernyataan ayah saya di etalase toko miliknya sewaktu kami berdiskusi hebat tentang mana yang lebih sulit: menulis fiksi atau kisah nyata.

“Mana yang fiksi mana yang kisah nyata, Andiiiiii???”
Mungkin kamu akan bereaksi begitu. Mungkin.

Ya, ampun. Bagi keluarga kami, Michael Corleone itu nyata. Karena itulah kami dibesarkan dengan nilai-nilai omerta dan lirik lagu Brucia Laruna. Atau, jangan-jangan… kamu mengira sapu terbang itu memang ada? Ssstttt. Jangan jawab keras-keras. Malu sama tetangga.


“Ada kerudung Tsunami?”
“Segi empat. Yang marun.”
“Pak Haji, kurangin dong lima ribu.”
Dan itu para pelanggan suka tiba-tiba muncul, memotong pembicaraan antara saya dan bapak.

Nah, Sayang.
Apa kabar?
Semoga kamu baik-baik saja dan sehat selalu. Saya sendiri dalam kondisi badan yang sehat dan pinggang yang berhenti meramping.

Mmmm…
Sudah cukup lama, ya?

“Ah, ngga juga, Ndi.”
Mungkin kamu akan jawab begitu. Dengan cepat. Dengan ketus, disertai tebaran aura jahat. Juga mungkin dengan tambahan, “GR, ih, Andi.”

Pasti.
Pasti.
Ih, kamu. Seperti biasa…

Sigh…

Padahal, pertanyaan saya bukan, “Sudah cukup lama, ya, kita tidak saling berkirim kabar?”
Bukan.
Bukan itu.

Pertanyaan yang saya maksud di atas adalah, “Sudah cukup lama, ya, kamu mencari saya?”




Simpan sejenak segala amarah kamu. Dan mari kita berbincang sejenak tentang hidup.
Kamu tahu apa yang saya lakukan beberapa bulan ke belakang ini?

Bukan, ih. Bukan.
Saya tidak sedang menyiapkan resepsi pernikahan. Kenapa? Karena sejak zaman dahulu, pihak yang menyiapkan resepsi pernikahan itu adalah calon pengantin perempuan. Sementara si lelaki hanya menyerahkan dananya. Itu pun sekedarnya.

Lalu, siapa calon pengantin saya?

Aih, kamu, ya.
Tidak sopan pertanyaan kamu.
Jodoh itu Tuhan yang mengatur.
Tuhan saya.
Iya, Tuhan kamu juga.
Jadi, jangan tanya saya. Saya juga belum tahu. Itu adalah misteri alam yang dibungkus teka-teki silang.

Kamu tahu, saya jarang berpikir akhir-akhir ini. Nyaris tidak berpikir. Bukan berarti IQ saya turun, tapi sepertinya ada kecenderungan bahwa saya mulai terjebak dalam situasi di mana… Berpikir Itu Berat. Jadi, Lakukan Sahaja Semua Yang Ada Di Hadapan. Jalani Hidup Seperti Air Mengalir. Ikuti Arus.

(Tadinya, mau saya tulis pake huruf kapital semua, tapi takut kamu menganggap saya sedang marah-marah).
Saya Tidak Pernah Lagi Berpikir Atau Merenungi Hidup. Padahal, Salah Satu Kenikmatan Hidup Adalah Merenungi Hidup Itu Sendiri.

(Dan kepala saya mulai berat lagi…)
Apakah ini tanda-tanda … penuaan dini?
Tidak usah dijawab.

Rangkasbitung, 28 Juli 2009

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan