The Name of the Rose




Membaca novel Umberto Eco: The Name of the Rose ini seperti membaca sebuah manuskrip tua zaman Mesir kuno. Kaga ngarti. Meski saya percaya bahwa si penulis memang seorang ahli semiotika kelas dunia… tapi plis dong… membacanya saja sulit. Setidaknya, dua teman saya yang sudah membacanya, yang saya yakini mereka memiliki intelejensia di atas rata-rata, pun menyatakan hal yang serupa. Apalagi, telah diterbitkan pula buku panduan bagaimana membaca The Name of the Rose.




Kalau begitu, apa yang sudah membuat novel ini terjual sampai 50 juta kopi?


Menurut teman saya yang lain, sebut saja namanya U. Si U ini bilang, bahwa memusingkannya sebuah novel berbanding lurus dengan angka penjualannya. Dengan kata lain, semakin novel itu njelimet dan memusingkan pembaca, maka semakin laku novel tersebut. Lihat saja Supernova…:p


Tapi ternyata….


Setelah bulanan novel itu saya simpan sebagai pajangan, tanpa sengaja, minggu lalu saya temukan The Name of the Rose dalam versi film-nya. Diperankan dengan baik oleh Sean Connery dan Christian Slater, The Name of the Rose tidak lagi menjadi cerita njlimet dan memusingkan. Malahan, saya nilai bobot konflik cerita tidak berat sama sekali.



Setidaknya, tidak saya temukan film panduan bagaimana menonton film The Name of the Rose

Comments

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan