Aa Gymnastium

“Nasi goreng, mie instant, gorengan dan semua makanan berminyak harap dikurangi. Kalau bisa, sama sekali ditinggalkan. Usahakan pilih makanan yang dimasak secara rebus dan bakar.”

”Jeroan?”
”Jeroan, seperti usus dan babat, tidak boleh dimakan sama sekali.”
”Haram?”
”Bukan haram. Tapi tidak bergizi dan banyak mengandung racun bagi tubuh.”
”Racun? Seperti sianida?”
”…”
”Sate kambing?”
”Boleh, asal tidak pakai lemak.”
”Yess!! Salad?”
”Boleh.”
”Ayam bakar?”
”Boleh. Utamakan bagian dada. Dada itu lebih montok daripada paha mulus. Eh, maksud saya, dada lebih banyak mengandung protein daripada paha.”
“…”
“Dada ayam, bukan dada kamu.”


Begitulah kira-kira perbincangan saya dengan seorang instruktur kebugaran. Sejak awal April ini, saya rajin olahraga di sebuah gym. Fitness, kalau orang sekarang bilang. Latihan kardio selama satu jam, dilanjutkan dengan angkat beban untuk membentuk tubuh yang singset dan seksi. Kadang diselingi spinning, salsa, pilates dan yoga.

”Jangan cuma pintar, tapi badan juga harus bugar.”
”Jangan cuma pandai, tapi tubuh juga harus aduhai.”

Begitulah quote yang terus terngiang-ngiang di benak saya selama sebulan ini. Mirip dengan apa yang dibilang Luna Maya, ”Otak dan penampilan itu memang perlu. Tapi kalau stamina ngga fit, apa artinya?”

Setuju, Mba.

Maka, berbekal kesadaran untuk hidup sehat dan bugar, berangkatlah saya ke gym tiga kali seminggu. Latihan berat saya jalani dengan sabar dan tekun. Keringat selalu membanjir dan badan pegal linu dibuatnya. Apalagi kalau sudah sesi yoga.

Wuihhh… selain badan capek, punggung saya sering bercucuran darah. Si pelatih yoga yang secara kebetulan orang India itu selalu menyuruh saya tidur di atas ranjang paku. Belum lagi, iman saya yang kuat banyak diuji. Maklum, perempuan-perempuan di gym senang sekali berpakaian seksi. Seksi sekali. Sangat seksi. Yaaa… amat seksi. Bahkan kadang-kadang, kata seksi pun tidak cukup. Mungkin… seksoy jauh lebih tepat. Karenanya, kedua mata ini sering kelilipan. Dan pandangan saya menjadi sangat terbatas. Di mana mata memandang, di sana sensor menantang.

Tadinya saya mau mengajukan protes pada mereka. Tapi jumlah mereka lebih banyak. Saya kalah suara. Dan orang besar adalah orang yang mau menerima kekalahan, bukan?

”Mas Andi, tolong bantu saya sit-up, dong.”
“…”

Bandung, 21 April 2009

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan