Would You Know My Name…

Sayang, apa kabar?
Sudah lama menunggu?
Maafkan bapak atas surat yang demikian jarang. Ini bukan karena bapak terlalu sibuk dengan pekerjaan, atau sombong akibat kebanyakan uang. Dan jangan sekali-kali menuduh bapak tengah mencari ibu baru buatmu.

Aih.
Simpan segera curiga itu, Aisa. Dan mari kita berbincang sejenak tentang apa saja yang kamu suka. Tentang tempat-tempat yang ingin dikunjungi. Tentang orang-orang yang dirindukan. Janji-janji yang belum terbayar. Mimpi-mimpi yang belum kesampaian.


Atau, kamu ingin bapak ceritakan juga tentang dunia kami, para laki-laki…

Tapi seandainya kamu mau mendengar sedikit cerita bapak, ketahuilah, bahwa saat ini ada belahan lain di dunia yang bapak ingin berada di sana. Bersama seseorang yang padanya rindu disandarkan. Sekedar untuk menunaikan satu-dua janji dan menuai mimpi-mimpi yang sudah lama tertanam.

Di sana, di belahan lain dunia, tempat yang ingin bapak berada itu, tinggallah seorang puteri cantik, Sayang. Teramat cantik, dia. Bahkan, kata cantik pun masih kurang rasanya. Sekira terdapat istilah lain, sudah bapak gunakan itu sejak dulu. Sudah bapak gunakan untuk memuji, membujuk dan merayu. Tapi apa daya bapak, Aisa? Kosakata bapak terbatas pada kamus Bahasa Indonesia yang ada.

Serupa dengan wajahnya, namanya pun tak kalah cantik. Huruf-hurufnya disusun oleh deretan abjad yang terpilih. Namanya mengartikan paras, pengetahuan dan tingkah laku yang juga cantik. Seakan-akan, si pemberi nama memang tahu benar bahwa kelak ia akan tumbuh seperti saat ini.

Setiap kali nama itu disebut, langsung bergetar hati bapak. Berdebar lebih kencang jantung bapak. Dan untuk sesaat, bapak hanya terdiam, tanpa berbuat apa sampai semua teredam.

Aisa, dialah ibu yang kelak melahirkanmu ke dunia. Dunia yang bapak harap tidak membuatmu kecewa. Dunia yang bapak harap tawa adalah pesona dan tangis adalah hiasannya.

Namun, sayang, untuk bapak bisa ke sana, antriannya amatlah panjang. Panjang sekali. Laki-laki semua yang mengantri. Diatara mereka, banyak lelaki hebat. Dibandingkan bapak? Mereka tak ada apa-apanya. Tapi, bapak mendapatkan nomor urut paling belakang. Itu masalahnya.

Si putri cantik ini perlu berjinjit sangat tinggi untuk sekedar menyadari bahwa bapakmu turut mengantri. Mengantri dengan sabar dan tanpa mengeluh, tentunya. Sambil melambai-lambaikan tangan, mencari perhatian.

Dan seandainya takdir mempermainkan kita yang membuat kita berdua tidak akan pernah berjumpa, ijinkanlah bapak mengutip kata-kata ini: Would you know my name if I saw you in heaven, Aisa?

Bandung, 14 April 2009

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan