Buffalo vs Loch Ness

Rupa-rupanya, keinginan untuk melakukan perjalanan sedang menggebu-gebu di hati saya. Seperti baru lepas dari penjara setelah dikurung sekian lama. Atau karena ingin berlari dari sesuatu? Mencari penghiburan?

Masih teka-teki silang.

Setelah Garut, Buitenzorg, Sumedang Tandang, saya kembali melakukan perjalanan ke Garut Kota Intan. Beberapa teman ingin melihat hijaunya sawah dan mengabadikannya dengan kamera. Padahal, itu sungguh dusta. Sesungguhnya adalah ingin mencicipi sambal oncom buatan nenek saya dan makan baso kampung asli sana.


Masih dengan mobil dinas berpelat merah, perjalanan dimulai pada pukul sepuluh Minggu pagi. Hanya butuh satu setengah jam untuk sampai, sebenarnya, tapi gunung-gunung di kiri-kanan serta seekor kerbau di tengah sawah berhasil menarik perhatian. Menepilah mobil dan kami turun.





Bagi mereka yang tidak tahu perbedaan sapi dan kerbau, lihatlah baik-baik foto di atas. Sesungguhnya, sapi dan kerbau sama sekali tidak memiliki perbedaan. Jika pun ada, marilah kita berbesar hati untuk saling menerima segala beda. Tak usahlah diungkit-ungkit. Malu, sama tetangga.



Itu kami, mengendap-endap di tengah sawah.



Seandainya kamu ikut, sudah menjadi Sanchay bagi kami berempat.

Minggu berikutnya, kami meluncur menuju Kawah Putih yang berposisi dekat Ciwidey. Sungguh pemandangan yang dahsyat. Saya, a.k.a, Andi Eriawan, yang sudah duapuluh empat tahun tinggal, tumbuh dan membesar di Bandung, baru pertama kali berangkat ke sana. Takjub saya dibuatnya. Sungguh sebuah tempat yang tepat untuk berasyik-masyuk dengan selingkuhan, foto pre-wedding atau sekedar mencari udara segar tercampur belerang.





“Mari kita berburu Loch Ness.”
Itu teman saya yang bilang. Kawah putih memang mirip danau berwarna keputihan. Kadang, hijau muda. Dan kami sungguh berharap seekor naga muncul tiba-tiba.




Tapi kami tidak punya janji dengan cuaca. Gerimis turun merintik, memaksa kami kembali ke parkiran dekat si penjual stoberi tusuk yang dilumuri coklat mangkal. Juga pedagang ketan bakar serta beberapa turis lokal dan luar.

“Jien li she ie ik pu.”
Begitu sahut si turis.

Jangan minta saya menerjemahkannya.

Bandung, 31 Maret 2009

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan