Bulan Madu

Pada awalnya, tidak ada rencana untuk melakukan perjalanan menuju Kampung Pacet, Bandung Coret. Sementara di mana itu letaknya Pacet, hanya segelintir orang yang tahu. Dan saya, a.k.a Andi Eriawan, termasuk dari si segelintir tersebut. Sungguh beruntung. Patut dibanggakan dan layak mendapatkan penghargaan.

Tak ada jalan tak macet menuju Pacet.

Demikian pepatah yang beredar. Dan sayalah yang menyebarkan pepatah tersebut. Bagaimana lagi, untuk sampai ke Pacet, kita harus melewati jalur-jalur yang perawan macet. Macet oleh motor, angkot, bus dan truk. Ada Jalan Buah Batu yang sulit ditembus atau Dayeuh Kolot yang berjalan kaki saja kita akan mengalami kesulitan. Belum lagi perbaikan jalan di kawasan Banjaran dan Bale Endah yang tak pernah usai. Jika perjalanan dilakukan pada hari libur, maka akan ada tambahan volume kendaraan luar biasa dari berbagai daerah menuju dan keluar kota Bandung. Belum lagi pesta khitanan atau perkawinan dari rumah-rumah di pinggir jalan akan semakin memeriahkan suasana.


Namun, setelah lolos dari kemacetan, perjalanan menjadi terasa amat sangat menyenangkan. Bahkan luar biasa. Pohon-pohon si peneduh tumbuh rapat di kanan dan kiri sepanjang Ciparay. Lalu kamu akan menemukan jalanan berkelok, menanjak dan sesekali tak beraspal. Ada sawah, ada gunung, dan bening sungai Citarum. Kemudian perkebunan bawang daun, seledri dan stroberi terhampar di lereng pebukitan. Jangan tanya temperatur udaranya bagaimana. Siang hari sangat panas, mirip di California atau Texas. Tapi, di pagi dan sore terasa dingin sekali, mirip di Kentucky.

Atau, McD.



“Itu Gunung Rakutak.”
Begitu kata si penumpang yang sedari tadi duduk setia di belakang, menunjuk si gunung bersejarah di mana ribuan orang pernah melakukan pagar betis yang menentukan arah negeri ini.

“Dan itu saung milik mama,” tambahnya lagi, menunjuk ke arah sebuah bukit di seberang.

Kami menepi dan turun di halaman sebuah warung bambu. Pura-pura membeli Oreo dan Kue Kipas, padahal sesungguhnya hendak menitipkan motor barang sepuluh-duapuluh menit.

Padahal, tigapuluh menit.

Padahal, kami tidak saling kenal.

Di atas bukit sana, terlihat sebuah saung yang mampu menampung dua keluarga untuk menikmati nasi timbel plus ikan mas bakar, atau sekedar berasyik-masyuk dengan pasangan sambil menelanjangi hamparan kebun stroberi dan pegunungan di sekelilingnya.

Juga terdapat kolam ikan yang belum ber-ikan. Bunga-bunga yang belum berbunga. Mushala yang belum dilengkapi tempat berwudlu. Dan kandang besar peternakan ayam negeri yang baru usai dipanen minggu lalu.

“Aku ingin berbulan madu di sini.”
Begitu kata anak si pemilik tempat tersebut.

“Aku? Bukan… kita?”
Tanya saya.





Dalam hati, tapi.


Pacet, 18 Agustus 2009

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan