Gotong Royong

Musim kering tiba bersama ibumu, Aisa. Berada di dekatnya, kita serasa mencium aroma gerimis sewaktu hujan turun merintik. Segar hijau daun serta mekar merah bunga turut terbawa. Kehadirannya bagaikan solusi bagi isyu pemanasan global di planet bumi. Kini, kita bisa berharap bahwa kiamat takkan terjadi pada tahun 2012 nanti.

Jadi, sayang, apa kabarmu?
Dari meja kerjanya yang sederhana, bapak ingin menyampaikan berita tentang perjalanan yang tengah dilaluinya. Yang kadang terjal, berkelok, lurus dan menurun serta bebas hambatan. Tentang warna-warni hidup yang ternyata tidak melulu hitam dan putih. Ada merah delima, pink tua, biru haru dan hijau botol. Tentang redup cahaya, temaram senja dan remang lampu kota. Tentang terik matari, singsing fajar serta pekat kabut pada pagi buta.


Aisa,
Tak ada yang abadi di dunia ini.

Begitu orang bijak berkata. Tak beda dengan apa yang dibilang orang-orang picik. Serupa dengan yang diucap para tetangga saat bergosip. Tak ada yang kekal, sayang, kecuali Dia yang menciptakan.

Begitu pula cinta, Aisa. Ia bisa datang dan pergi. Kadang muncul tanpa aba-aba, sering menghilang tanpa basa-basi. Tidak jarang datang kemudian hinggap. Diusir dia, malah kembali mengendap-endap.

Karenanya, kita harus selalu bergotong-royong, sayang. Harus ada jalinan kerjasama diantara kita. Kerjasama bahwa…

Bapak akan selalu membuat hari ini lebih indah buat kalian, dan hari esok lebih indah dari hari ini. Kalian juga harus berbuat hal serupa  untuk bapak.

Hubungan keluarga bukanlah perhitungan matematika. Kalau iya, maka hanya lulusan mipa, akuntansi dan teknik saja yang keluarganya akan bahagia. Kasihan itu lulusan kedokteran dan seni rupa.

Cinta bisa datang dan pergi, Aisa. Terima saja. Jangan merasa dibohongi. Jangan pernah putus asa.

Seandainya dalam seumur hidup hanya diperbolehkan satu kali jatuh cinta, lalu apa arti kemunculan si ibu bagi si bapak?

Bandung, 12 Agustus 2009

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan