Einstein vs Bohr

Beberapa hari yang lalu, di tengah jam makan siang pada hari yang cerah tapi banyak awan mengancam, saya terlibat dalam sebuah pembicaraan serius dengan seorang teman kantor. Teramat serius. Pembicaraan paling serius yang pernah kami alami sejak kami saling mengenal. Teman yang saya maksud ini kebetulan adalah seorang perempuan dan junior saya di kampus dahulu. Bukan kebetulan, sebenarnya. Karena Tuhan tidak sedang bermain dadu. Begitu kata Einstein. Atau kata Bohr, si penemu model atom itu? Ah, tidak penting.

Penting, sih. Karena itu adalah filosofi hidup yang juga penting.

Tapi terlepas dari Einstein ataupun Bohr, saya cukup yakin bahwa isi pembicaraan yang saya maksud tidak kalah pentingnya. Bahkan, cukup penting untuk disimak dan dihayati. Sekiranya pekerjaan sedang menumpuk pun, sudah sepatutnya kamu diam sejenak dan memperhatikan apa yang hendak saya paparkan.

Begini.


Teman saya ini, sebut saja S, sedang menyelesaikan tesis S2 mengenai sebuah cabang ilmu yang saya tidak mau repot-repot menerangkannya karena saya yakin kamu pun tidak akan mengerti dan seandainya kamu mengerti pun kamu akan lanjut bertanya ke hal lain yang membuat saya tidak juga memulai cerita ini. Karena itu, amat wajar jika saya bertanya kepada S tentang rencana selanjutnya seusai S2.

Sebagai catatan, S ini adalah lulusan terbaik pada angkatannya waktu beliau S1. Jadi, cukup pintarlah. Dibandingkan saya? Hmm… bagaimana, ya… sebagaimanapun pintarnya S, saya adalah asisten dosen waktu dia kuliah.

Kembali ke pembicaraan kami berdua, S memberi jawaban yang cukup mengecewakan saya.

“Saya akan kembali menekuni pekerjaan semula karena saya merasa nyaman dan enjoy di sana.”

Saya pun dengan blak-blakan, menyatakan kekecewaan. Kenapa saya kecewa? Dia pun bingung kenapa. Dan kamu pasti bingung juga. Wajar. Ada jurang intelejensi diantara kita.

Saya kecewa. Sungguh. Begitu kata saya dengan penuh api.

Tapi saya merasa nyaman dan enjoy, Andri. Eh, Andi. Katanya. Dan setiap orang punya hak untuk itu, bukan?

Saya bilang, merasa enjoy dengan apa yang kita kerjakan adalah tahap awal untuk hidup yang baik. Level pertama untuk menjadi manusia seutuhnya dan bahagia. Begitu saya jawab. Tapi, ada tapi di sini. Bagi mereka yang diberi kesempatan lebih dibandingkan orang lain, baik itu berupa kecerdasan, keterampilan ataupun kekayaan, tahap itu harus sudah dilewati dan naik menuju tahap berikutnya.

Maksud kamu?

Begitu dia bertanya dengan mimik wajah yang tidak bisa dibilang mimik lulusan terbaik. Dia tidak mengerti. Begitu juga kamu, saya yakin. Baiklah, akan saya jelaskan dengan bahasa yang lebih sederhana.

Melakukan perubahan.

Begitu saya bilang. Singkat. Padat. Tanpa keraguan.

Kamu yang cukup cerdas, dan tidak lama lagi bergelar S2. Kamu satu-satunya yang punya cabang ilmu itu. Kamu tidak boleh kembali ke tempatmu semula, S. Kamu harus berbuat sesuatu yang bisa membawa perubahan ke arah lebih baik bagi perusahaan ini. Sungguh curang jika dengan segala kesempatan yang sudah diberikan, kamu sekedar enjoying your life.

Tidakkah kamu ingin tercatat dalam sejarah, S? Meski, hanya dalam sejarah perusahaan ini? Dan S pun mangut-mangut. Saya yakin, dia masih juga tidak mengerti maksud saya.

"I am convinced that He (God) does not play dice."
[Albert Einstein]

Bandung, 19 Februari 2009

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan