Ruang Rindu





















karena rindu
dunia terasa sepi
tapi karena dirindukan
dunia begitu berarti


Prolog

Kisah cinta biasanya diakhiri dengan pernikahan. Namun, bagiku sebaliknya. Pernikahan justru menjadi awal kisah cinta kami. Hanya saja aku harus merelakan sebagian telinga kiriku menjadi sumbing, sementara istriku melarang aku memelihara rambut panjang untuk menyembunyikan cacat itu. Tidak pantas seorang pimpinan sebuah biro arsitek berambut gondrong, katanya.  


Meski kekhawatiranku akan kaburnya para klien ternyata tidak terbukti, setiap kali kami membicarakan hal ini di bulan-bulan berikutnya, dia selalu menyatakan bahwa itu adalah murni kecelakaan. Bukan salah siapa-sapa. Dan jika aku harus menyalahkan seseorang, itu adalah diriku sendiri. Sedangkan aku tetap bersikeras bahwa cacat di telinga ini adalah murni kesalahan Oki, ayam jantan manja peliharaan kami. Tapi istriku selalu saja mencegah hasratku memotong leher ayam itu, mencabuti bulu-bulunya yang merah-biru gelap dan menjadikannya santapan malam yang lezat.

“Kokoknya sudah semakin lemah,” kataku beberapa bulan lalu, sambil menunjuk Oki dengan golok yang baru kuasah tajam. “Sering telat, pula. Masa dia baru berkokok jam delapan pagi? Belakangan ini malah murung terus. Daripada dia mati menderita karena terlalu tua, dia akan lebih senang berkorban menjadi santapan kita.”

Istriku menggeleng, tersenyum. Kemudian kedua tangannya melingkar di leherku, lalu berbisik dengan lembut. “Mungkin dia hanya kesepian aja, Kang Abu. Bagaimana kalau kita kasih dia pasangannya?”

Mataku beralih dari ayam itu, memandang wajah cantik di dekatku. Istriku menyibak rambutku dan meninggalkan kecupan ringan di telinga sumbingku. Sialan. Kalau sudah begini, aku tidak kuasa menolak keinginannya. Dan lagi-lagi seleraku akan daging ayam semakin berkurang. Karena sejak memelihara Oki, aku hampir tidak pernah tega makan daging hewan jenis dia.

Maka siang itu kami mencari ayam kampung betina di Pasar Ancol. Prosesnya mirip dengan orangtua yang sedang mencarikan jodoh untuk anak mereka. Usianya harus diantara 1-3 tahun, sehat walafiat, belum pernah bertelur dan berasal dari ras unggul. Setelah dua jam, akhirnya kami pulang dengan membawa seekor ayam betina yang sesuai kriteria. Istriku memberinya nama Lan, sedangkan aku memanggilnya sialan.

Secara ajaib, Oki berubah menjadi seekor ayam yang agresif, lincah dan penuh vitalitas. Kokoknya kembali membangunkan kami pada pukul empat pagi. Dalam tiga bulan, empat telur mereka lahir dan menetas, sementara kami berdua masih menunggu anak pertama. Dan aku benar-benar sudah kehilangan selera akan daging ayam. Bahkan aku sudah lupa bagaimana rasanya. 

Sialan. Seharusnya sudah aku potong leher Oki sejak jauh-jauh hari.

Lalu, ketika aku sampai di rumah pada pukul delapan malam, aku menemukan keheningan sebagai jawaban sapaan salamku. Istriku tidak ada. Aku mencarinya di kamar, dapur dan kamar mandi. Aku tetap tidak menemukannya.

Aku duduk menunggu dengan gelisah di teras rumah. Beberapa kali kuhubungi ponselnya, tapi tidak ada jawaban. Sejak menikah tahun lalu, dia tidak pernah pulang selarut ini tanpa meninggalkan pesan.

Mungkin sudah satu jam sampai akhirnya aku teringat ayam-ayam itu. Khawatir mereka belum diberi makan, aku segera melesat ke dapur. Kucampur remah nasi dan tahu dalam satu wadah besar, lalu kubawa ke halaman belakang. Oki dan anggota keluarganya sedang meringkuk murung di dalam masing-masing kandang mereka yang besar. Tapi tidak hanya itu. Aku juga menemukan secarik kertas tertempel di atapnya.

TITIP OKI, LAN, JAY, FITRI, DIAN DAN GUS
YOUR LOVELY WIFE

Kusadari kertas itu basah. Mungkin oleh tetesan gerimis yang seakan mengiringi kesedihanku. Bukan. Itu air mataku. Aku tidak pernah menyangka bahwa waktu kami berpisah akhirnya tiba. Lagi.

Comments

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan