Pointilisme

“Di permukaan bulan sana,
saya tuliskan nama kita
dengan deretan abjad-abjadnya
yang tersusun rapi.
Semoga abadi.”

Demikian saya merayu. Kalimat terakhir saya bisikkan dengan lembut disertai ketukan yang terpadu.

Memandang tidak percaya, perempuan itu merogoh isi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah teropong bintang dan mengarahkannya pada bulan. Ia selidiki kata-kata saya dengan mengintip dari celah lensa, memastikan sendiri apakah saya sedang berbual atau sungguh-sungguh.
Tersenyum, dia, tidak lama kemudian.






“Tulisan kamu jelek,” katanya diiringi cubitan pada lengan saya.

Aih.

“Tapi, Andi, tidak ada yang abadi, bukan, kecuali Dia?”

Aih, lagi.

“Tentu saja. Yang saya maksud adalah… tiga-empat puluh tahun ke depan.”
“Kamu akan keburu tua sewaktu merasa menyesal atas keputusan itu.”
“Selama hidup nyaris tiga puluh tahun di permukaan bumi, saya tidak pernah menyesali segala sesuatu. Kecuali perbuatan dosa, tentu,” kata saya tanpa nada ragu.
“Tapi, Andi…”
“Kamu banyak ber-tapi,” potong saya di kuali. “Kalau terlalu banyak tapi, setiap kisah dan dongeng tidak akan pernah berlanjut. Diam dia menggantung tak ke mana-mana.”
“Betul. Saya setuju. Namun…”


Nah. Demikianlah jika kamu berhubungan dengan mereka yang senang menggunakan kata tapi dan namun. Usaha apa pun yang kamu lakukan untuk meyakinkan mereka adalah percuma.

“Sayangnya…”

Untuk menghadapi mereka, kamu jangan pernah memberi penjelasan. Jangan memberikan argumen. Dengarkan saja sampai akhir. Anggukkan kepala, mengirimkan isyarat setuju. Pura-pura, tentu.

“Hanya saja…”

Lalu, ketika kamu berpikir bahwa kamu tinggal menuruti saja apa yang mereka inginkan, ya, kamu salah lagi. Karena mereka sendiri pun tidak tahu apa yang mereka inginkan. Keinginan mereka abstrak. Hanya seniman yang bisa mengerti. Seniman aliran abstrak atau surealis.

Saya bukan.

Bandung, 13 Mei 2009

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan