Verbodden, Dear


Bis Antapani-KPAD itu semirip dengan metro mini ibukota. Isinya penuh jejal dengan manusia di setiap pagi dan sorenya. Ada saya di situ, terselip diantara mereka. Jika saya sedang tidak beruntung, tidak ada satu pun bangku kosong yang available. Dan saya harus berdiri selama tiga puluh menit perjalanan. Maklum, si kondektur tidak menyediakan jasa reservation. Tapi jika saya sedang beruntung, saya bisa duduk nyaman di samping si karyawati bank sambil mendengarkan radio dan membaca novel yang saya bekal. Sesekali basa-basi tentang indahnya cuaca, kurs dollar, dan bertanya turun di mana, Mba.

Bis Antapani-KPAD itu serupa metro mini di Jakarta. Warnanya kombinasi hijau dan coklat tua. Ongkosnya tiga ribu dan tidak bisa diangsur. Harus kontan dan uangnya harus uang asli. Pasti, kondektur dan sopirnya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tegas tanpa bisa ditawar. Saya sungguh tidak cocok dengan pekerjaan mereka. Maklum, saya ini kebalikannya, mudah dibujuk dan dirayu. Satu kedip mata dari kamu saja bisa membuat saya luluh. Apalagi jika ditambah sedikit jentik jari dan seulas senyum.


Adapun kenapa saya memutuskan untuk naik bis, itu akan saya rahasiakan seumur hidup saya dan dibawa sampai ke liang lahat. Membuatnya menjadi misteri yang tidak akan pernah bisa terpecahkan selamanya. Lalu kamu akan banyak menduga. Dan setiap detiknya, kamu akan menyesal kenapa tidak pernah bertanya.

Dan pagi tadi, juga selama satu bulan ke belakang, saya manfaatkan si bis tersebut sebagai wahana yang menghantarkan saya menuju kantor tempat saya digaji setiap bulannya. Jangan tanya gaji saya berapa. Bukan karena saya sungkan atau malu untuk menyebut angka itu, tapi selain tidak etis, bisa-bisa nanti kamu ingin saya nikahi segera. Tanyalah apa yang saya lakukan di kantor. Tapi pasti kamu tidak akan mau bertanya, karena sudah tahu hal ihwal itu sejak lama. Meski demikian, tetap akan saya beri tahu.

Agar tidak lupa. Biar hafal luar kepala.

Lalu kamu akan bertanya, apa untungya menghafal hal-hal yang saya lakukan di kantor. Dan saya balik bertanya, sejak kapan kamu berubah menjadi matrealistis begini, mendasari segala sesuatu berdasarkan untung-rugi. Dan kita pun kembali bertengkar seperti yang sudah-sudah. Kamu akan membanting pintu dan memasang pelang dilarang ganggu.

Dengan huruf BESAR-BESAR, tentu.

Dan pagi tadi, saya naik bis dalam kondisi dikejar mendung. Di tempat tujuan, saya turun. Hujan ikut turun. Dan saya pun dipaksa untuk berteduh dahulu.

Pak, maaf, saya masuk terlambat hari ini. Hujan.

Bandung, 07 Mei 2009

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan