Terbaik

Ada sebuah kejadian lewat yang masih saja hinggap di benak saya. Menclok seperti burung kakak tua, tak pernah mau pergi. Agak sedikit mengganggu, sebenarnya. Membuat saya sering melamun sewaktu menyetrika kemeja kerja. Membuang sia-sia air dalam gayung sewaktu mandi. Salah menyuapi sendok nasi ke hidung sewaktu sarapan. Keliru turun dari bis menuju kantor. Sampai-sampai, kadang saya dibuat lupa pakai celana. Tak ada yang melihat, untungnya.

Hebat kan saya, masih saja merasa beruntung?

Kejadian itu adalah sebuah reuni kecil-kecilan kelas kami di masa SMA. Tepat tahun lalu. Salah satu dari mereka yang hadir adalah seorang mantan pacar. Perempuan, tentunya, sedang hamil tujuh bulan untuk yang kedua kali. Datang pula sang suami si pelaku penghamilan.

“Kenapa belum menikah juga?”


Begitu si ibu hamil yang sekaligus mantan pacar di masa lalu itu bertanya pada saya dengan lugas dan ringan. Seperti bertanya, apa saya sudah makan? Atau, sehat-sehat saja?

Saya sungguh tidak mengerti, jawaban seperti apa yang beliau harapkan. Apakah beliau tidak tahu bahwa untuk menikah itu dibutuhkan dua pihak. Pihak laki-laki dan pihak perempuan. Dengan demikian, sepatutnya pertanyaan tersebut dilemparkan tidak hanya pada saya seorang.

“Mungkin karena doa kamu.”

Begitu dia menebak. Menuduh. Menyudutkan. Menyalahkan satu pihak saja. Tapi, saya tidak mengerti maksud dia punya tebak-tebakan.

“Maksudnya, kamu berdoa untuk diberikan yang terbaik, kan? Yang terbaik.”
“Tentu saja.”

Begitu saya menjawab dengan cepat. Padahal, saya masih tidak mengerti maksud beliau ke arah mana. Tapi, saya mencium adanya bau-bau jebakan di sini. Pasti.

“Nah, mungkin karena itulah kenapa kamu belum menikah juga. Kamu ingin yang terbaik, sih. Jadi, Tuhan akan kasih kamu yang terbaik. Masalahnya…”

Tuh, kan, ada masalah.

“Masalahnya, si perempuan yang hendak dipasangkan dengan kamu, dia pun berdoa kepada Tuhan agar diberikan yang terbaik. Dan… sungguh tidak adil jika kamu adalah orangnya.”

Dan saya pun menangkap nada mengejek dari kalimat itu.

“Coba kamu berdoa agar diberikan yang… lumayan. Atau, cukup baik. Toh, kamu juga ngga baik-baik amat.”

Pada mulanya, saya agak kesulitan mencerna apa yang dia sampaikan. Padahal, usus saya sangat kuat dalam mencerna daging kerbau sekalipun. Bahkan, baru-baru ini, saya tidak mengalami masalah apa-apa sewaktu melahap durian lengkap dengan kulitnya.

Setelah berpikir sejenak, merenung di ujung seperti benteng catur, ada pesan mulia dan nasihat berharga pada kalimat-kalimatnya yang berhasil saya tangkap. Memang, sejak saya mengenal beliau, nyaris tidak pernah saya temukan hal tercela yang dia lakukan. Beliau seorang perempuan soleh-solehah. Setiap kali mengingatnya, maka secara otomatis kita akan mengambil air wudlu. Kalaupun ada cela dari beliau, mungkin hanya satu, yaitu dahulu mau berpacaran dengan saya, yang tentunya seorang laki-laki yang tidak baik-baik amat (menurut istilah dia).

Tapi, saya lumayan, lah.

Iya, kan, Bu Ustadzah?


Bandung, 25 Mei 2009


Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan