Aisa Sayang, Aisa Malang
Aisa sayang,
Ketika menulis
ini, bapak sedang berada dalam cobaan-Nya. Sudah tiga hari tubuh satu-satunya
ini dilanda panas dan demam. Kemampuan bapak dalam mencicipi makanan pun
tertawan entah sampai kapan. Tidak berasa itu makanan. Sampai-sampai, merokok
pun tak enak rasa.
Di malam hari,
tidur bapak gelisah gundah gulana. Pantat pun tidak bisa diam di satu tempat
saja. Semua posisi selalu serba salah. Setiap pukul dua dini hari bapak
terbangun, lalu ke kamar mandi. Tidak usahlah bapak jelaskan di sana apa yang
terjadi.
Aisa malang,
Jika ada yang
harus disalahkan dengan nasib buruk yang menimpa bapak ini, maka ibumulah
pelakunya. Ya, ibumu. Pesonanya yang ia tebar, kisah-kisah yang ia ceritakan
dalam surat-suratnya, serta mimpi-mimpinya yang ia bagi pada bapak sudah cukup
lama menjadi candu yang memabukkan. Kadang-kadang, sampai slebor bapak
dibuatnya. Tidak jarang tertawa sendiri. Atau sekedar senyum menawan, menangis
tersedu pilu.
Lalu, tiba-tiba saja dihentikannya semua itu tanpa aba-aba terlebih dahulu. Dua
minggu, sebutnya. Itu pun bisa lebih lama, atau jika kami beruntung, bisa
kurang dari itu.
Karenanya, Aisa. Jangan terkejut seandainya kelak kamu temukan bapak sedang
berada di pusat rehabilitasi. Atau di pesantren Abah Anom di Tasik.
Sekali lagi. Ibumu itu, Aisa, pelakunya.
“I don’t need drugs to make my life tragic.”
[Anonymous]
Bandung, 01
November 2009