Berkencan dengan Iblis


“Andi, jika kamu diberi izin untuk membunuh lima orang, siapa saja yang akan kamu masukkan ke dalam daftarnya?”

Itu adalah pertanyaan yang dilemparkan ke wajah saya kemarin malam di tengah kencan kami di sebuah kafe dengan menu yang teramat mahal, tidak enak dan tidak mengenyangkan. Sampai tersedak saya dibuatnya. Merasa tertampar, juga. Sekiranya ada cermin, ingin saya lihat rona merah di wajah saya. Sekaligus waktu yang tepat buat bedakan.

Untuk sesaat saya hanya diam membisu sambil menatap wajahnya yang, ehm, tanpa cela itu. Proporsi dan susunan daging-tulang yang nyaris sempurna. Sebuah jerawat kecil tampak samar-samar menempel di atas alis, sedikit merusak keseimbangan pola. Namun, langit malam bertambah indah justru karena adanya bintang, bukan?


”Andi, cepat jawab!”

”Jawab sekarang?”

”Tentu saja. Dan jawaban kamu akan menentukan apakah saya akan menerima lagi ajakan kencan kamu atau tidak.”

Saya menelan ludah. Memang benar kata teman-teman saya. Jangan pernah berkencan dengan polwan atau mantan gerwani. Mereka akan memakan kepalamu bulat-bulat seusai kalian bercinta.

”Jika saya diberi izin untuk membunuh lima orang,” kata saya hati-hati, ”orang pertama yang akan masuk ke dalam daftarnya adalah... kamu.”

”Kenapa, Andi? Hati-hati dalam menjawab itu ada kalanya diperlukan.”

”Karena... saya khawatir kamu akan menolak ajakan kencan saya besok.”

Makhluk berjenis perempuan itu memandang saya tanpa berkedip. Saya kesulitan untuk tahu apakah dia sedang menahan marah atau menawan senyum.

”Ke dua?”

”Orang ke dua yang akan saya masukkan ke dalam daftar adalah... bapak kamu.”

”Andi, bapak saya itu baik sekali orangnya. Bahkan lembut. Tidak pernah ia menyakiti siapa pun. Atas dasar apa kamu hendak membunuh dia?”

”Karena... saya khawatir dia akan menolak lamaran saya pada puteri satu-satunya itu.”

”Jangan-jangan, orang ke tiga yang hendak kamu bunuh adalah ibu saya?”

Saya menggelengkan kepala.
”Saya tidak akan menyentuh beliau. Menghadapi ibu-ibu adalah keahlian istimewa saya. Tidak perlu ada pertumpahan darah diantara kami. Saya kan menantu idaman para ibu.”

”Terimakasih dan saya tidak percaya. Lalu siapa, Andi, orang ketiga yang akan kamu masukkan dalam daftar?”

”Sahabat terbaik kamu, yang paling kamu percaya itu.”

Sang iblis betina tampak kaget luar biasa. Ah, senangnya bisa kembali menguasai situasi.

”Kenapa, Andi? Kenapa dia?!”

”Karena saya pencemburu. Juga, saya tidak mau kamu membagi, seandainya itu ada, rahasia kita dengan orang lain. Apalagi jika orang itu laki-laki.”

”Jika kamu pencemburu, kenapa tidak memilih... mantan saya, misalnya?”

”Ah, seperti kamu tidak tahu saja. Seandainya saya bunuh kekasih kamu di masa lalu itu, maka kelak kamu tidak akan pernah bisa melupakannya. Kamu akan terus mengenangnya. Akan sangat sial bagi saya di kemudian hari.”

”Lalu, Andi, siapa lanjutannya, orang keempat yang malang itu?”

Saya tahu dia semakin tidak sabar. Pelan, saya mainkan ujung garpu, mirip pembunuh berdarah dingin yang sedang menyebutkan nama-nama calon korbannya.

“Atasan kamu di kantor.”

Untuk pertama kalinya dia tampak setuju.
”Andi, maukah kamu... membunuhnya secara perlahan, memutilasinya dan membuang serpihan tubuhnya di tujuh sungai dan tujuh lautan yang berbeda? Membuatnya sulit diidentifikasi, baik oleh otopsi maupun foto gigi sekalipun?”

Tenguk saya langsung merinding. Apakah saya sedang berhadapan dengan puteri Jack the Ripper...

”Maaf, saya tidak mau mencemari lingkungan.”

”Ah... ya... ya. Lalu, Andi, siapakah si orang nomor lima itu?”

”Orang ke lima yang akan saya masukkan ke dalam daftar adalah... John Lennon.”

”Andi, kamu jangan ngaco, ya. John Lennon sudah mati di tahun 80 yang lalu. Kamu terlambat 28 tahun dari Mark David Chapman.”

”Kalau begitu, Elvis saja.”

”Andi... dia sudah pulang ke planet asalnya.”

”JFK?”

”Kamu sengaja mempermainkan saya. Lima detik lagi saya akan pulang.”

Sialan. Sama sekali tidak terbayangkan siapa lagi yang harus saya bunuh. Bagaimanapun, pada dasarnya saya adalah lelaki sopan dan lembut. Tidak punya pengalaman dalam bunuh-membunuh. Saya jadi gugup.

”Hannibal Lecter.”

”Empat...”

“Andy Lau.”

“Tiga…”

“Ng Man Tat.”

“Dua…”

“Tao Ming Tse.”

Dia mulai siap-siap berdiri.
“Satu…”

Saya segera menahannya.
“OKE! STOP! ORANG KE LIMA YANG AKAN SAYA MASUKKAN KE DALAM DAFTAR ADALAH MANAJER CAFE INI. Makanannya ngga enak, mahal luar biasa dan sama sekali tidak bikin perut saya kenyang.”

Perempuan itu urung berdiri. Kami saling menatap. Ada ketegangan diantara kami berdua. Tidak lama kemudian, ia melemparkan senyum. Ah, sungguh sulit mengartikan senyumnya itu.

“Jemput saya besok seperti biasa, Andi. Dan jangan lupa, siapkan jawaban daftar lima nama lelaki yang boleh berselingkuh dengan istri kamu nanti.”

Tuhan, jika Engkau memberi izin kepada saya untuk membunuh, bolehkah saya mengakhiri iblis betina ini?

“There isn’t enough room for me and your ego.”
[Vesper Lynd, Casino Royale]

Bandung, 19 November 2008

Comments

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan