Jiwa yang Direnggut Paksa

Ada yang merenggut pagi milik saya, kamu tahu. Pagi yang berharga. Lebih berharga dari siang, sore atau malam. Pagi milik saya. Milik saya sendiri.


Banyak sekali yang salah dari hari ini, kamu tahu. Pagi-pagi benar, tidak saya temukan gelas bersih untuk minum kopi. Jadilah saya mencuci gelas pada pukul lima limabelas. Kemudian, tidak saya temukan pula air panas. Yang tersisa cuma air hangat sisa kemarin sore. Dasar saya manusia, saya pikir temperaturnya cukup, lah. Tahu-tahunya, saya kesulitan melarutkan bubuk Moccacino itu.


Kemudian saya hendak mandi. Di dalam kamar mandi, saya temukan sesuatu. Oh, rupanya sebuah ember dengan rendaman cucian di dalamnya. Ember siapa? Ember saya. Cucian siapa? Damn. Itu cucian saya, rupanya, yang sudah direndam lebih dari 24 jam.


Yah… sedikit bau.

Maka, jadilah saya mencuci, merendamnya dengan pewangi. Lalu, mandi dan bersih-bersih. Lalu... tahu-tahu… sudah jam tujuh lewat sepuluh. Berarti, saya cuma punya duapuluh menit untuk menyetrika, ganti baju, semir sepatu, sarapan, menghangatkan motor dan sampai di kantor.


Itu tidak mungkin. Cuma kamu, bionic woman, yang bisa. Karena itu, saya menyetrika kemeja dengan santai saja. Peduli amat sampai kantor jam berapa. Memangnya, siapa yang berani memarahi saya, Andi Eriawan?


Eh, karena terlalu lama menyetrika, badan saya jadi berkeringat. Padahal kan sudah mandi. 



Kemudian,
momen sarapan pun direnggutnya. 

Ah, sarapan. 

Padahal, kamu tahu... saya suka sekali sarapan. 
Sangat suka.


Lebih dari kamu?


















Ah, itu harus diuji dulu....

Bandung, 23 Oktober 2008

Comments

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan