Orang-Orang Jalan Bali

“Mana yang kamu pilih, Ndi, menjadi Jutawan Dot Com atau Jutawan Dot Net?”



Itu adalah salah satu dari sekian juta pertanyaan tidak penting yang diajukan teman-teman saya selama ini. Dan setiap kali kami berkumpul, memang tidak ada hal yang kami anggap penting. Tidak satu pun. Joker tertinggal tigabelas tahun dari kami dengan Why So Serious-nya.

”Bagaimana kalau di kantor istri saya?”
Zoel mengajukan usul tempat untuk kami mijit yang penting-penting alias miting. Markas di jalan Bali sudah digusur. Kami butuh sebuah tempat baru dalam rangka menjadi Jutawan Dot Co Dot ID.


”Jangan,” kali ini saya yang bersuara. ”Di sana banyak gadis muda yang masih single. Berbahaya.”

”Kenapa berbahaya? Memangnya saya ngga akan setia sama istri saya?” tanya Yusuf, seorang ayah dari satu balita.

”Di kamar kamu saja, Zoel. Yang di rumah ortu kamu itu. Lokasinya strategis, dekat ke mana-mana. Terutama, dekat ke dapur mama kamu. Lumayan bisa minta gorengan,” saya memberi usul lain. Sewaktu kami sekolah dan kuliah, kamarnya kami jadikan tempat bersua.

”Ngga mungkin. Di sana ada ranjang pengantin adik saya. King size pula ukurannya. Terlalu sempit buat kita berdiskusi dan berdebat kusir.”

”Kalau saya sih ngga masalah, mau di mana pun sama saja jauhnya,” celutuk Agan, seorang teman yang rumahnya di wilayah kabupaten dekat gunung, bermil-mil jauhnya dari pusat kota Bandung.

Sementara itu, Pepen hanya diam membisu, mangut-mangut saja. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Sesekali menghitung dollar yang masuk secara real time di akun miliknya. Hari itu saja dia mendapatkan tigapuluh dollar asli amerika tanpa bersusah-payah. Tanpa berkeringat. Tanpa menipu. Tanpa tercampur alkohol dan narkoba. Beliau memang Jutawan Dot Com pertama diantara kami semua. Dari beliau pula ide ini tumbuh dan berkembang. Tinggi dan melebar. Mekar dan berbunga.

Setelah alot dalam beradu argumentasi, pilihan pun jatuh pada kantor si Zoel punya istri.

Sesungguhnya, jujur punya jujur, saya bukannya keberatan untuk mijit yang penting-penting di sana. Hanya saja, istri Zoel dan kolega-koleganya tersebut konon menganut itu paham feminisme. Dan sepanjang yang saya tahu tentang kaum feminis, mereka doyan memakan kepala laki-laki. Terutama laki-laki bujangan dan sok aksi seperti saya ini.

Kesepakatan pun dicapai, skedul dirancang, anggaran ditetapkan. Tanpa pandang bulu dan a i u, saya mengangkat diri saya menjadi Direktur sekaligus Seksi Marketing. Yusuf sebagai Bendahara. Beliau dilengkapi dengan tujuh biji kartu kredit di dompetnya. Bukan sekedar biji saja, tapi lebih dari itu. Enam diantaranya adalah Gold punya. Dan tak usahlah ditanya kenapa dia koleksi kartu kredit sebanyak itu. Saya ngga cukup ruang dan waktu untuk bercerita. Pepen ditugaskan sebagai Administrasi dan Trainer bagi kami semua. Zoel sebagai Tuan Rumah. The King of Living Room. Tak perlu kami bebankan tanggung jawab lain buat dia.

Dan Agan sedang mengantar pacarnya sewaktu pembagian tugas ini dilaksanakan. Pacar satu-satunya. Kasihan kalau tidak diantar. Rumahnya jauh dan waktu itu hari sudah malam. Mungkin akan kami berikan tugas membuat mie kare pada Agan.

Sehabis pembagian deskripsi kerja usai, saya hubungi teman saya yang lain, seorang dosen yang tengah mengambil S2 atas nama beasiswa di luar kota. Tak lengkap rasanya kami tanpa dia.

”Bung Rusky, kamu mau bergabung bersama teman-teman menjadi Jutawan Dot Com?”

”Apa itu, Ndi? Sekte menjual diri kepada setan?”

”Bukan. Kita menjual diri kepada Google, Yahoo dan para Miliarder Dot Com.”

“Saya ngga ngerti. Tapi yang terpenting, ada biayanya, ngga? Saya ngga suka kalau ada biayanya. Meski bukan berarti saya cuma suka yang gratis-gratis, lho. Saya cuma tidak mau membayar sesuatu yang saya tidak mengerti kenapa saya harus membayar.”

“Tentu saja ngga ada biayanya, Bung! Masa setelah kita berkawan sekian lama, saya mengajak kamu ke sesuatu yang kamu mesti bayar?! Yang benar saja?! Malu saya sama tetangga!”

”Bagus kalau begitu. Saya ikut, Ndi. Ini join usaha, kan? Saya suka semua hal yang berhubungan dengan join.”

”Bagus. Itu yang saya suka dari kamu. Infaq cuma 1,25 juta.”

”Saya transfer ke mana? Duh, ini uang beasiswa, Bung Andi.”

Dan teman saya pun akhirnya menggunakan sebagian uang beasiswanya demi bergabung bersama saya dan kawan-kawan lain. Anggota gank pun dapat kembali berkumpul dan bersilaturahmi. Ibarat arisan ibu-ibu, akan ada jadwal pertemuan setiap minggunya dalam rangka menjadi Jutawan Dot Com.

Saya ngga suka uang. Sungguh. Saya cuma ingin terlepas dari kebutuhan akan finansial sehingga dapat melakukan semua hal yang saya sukai tanpa rasa khawatir, tanpa tekanan dan pertimbangan selera pasar.

“Yeah, rite!” seru kawan-kawan saya kompak.




“Money will buy you a fine dog, but only love can make it wag its tail.”

[Richard Friedman]

Bandung, 03 Januari 2009

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan