Turun

Sejak hari Jumat kemarin, saya resmi pindah ruangan kerja. Sebuah projek lama yang sudah bertahun-tahun tidak juga tuntas membutuhkan tenaga saya. Juga pikiran, tentunya. Sekiranya kelak butuh dana pun, sudah saya siapkan beberapa juta. Hanya doa yang mungkin sulit saya berikan. Doa kan harus tulus. Tanpa pamrih. Tanpa embel-embel. Hanya mereka yang saya cinta saja yang tidak pernah lupa saya doakan.
Saya pindah meja, dari lantai tiga turun ke lantai satu. Semoga, ini bukan tanda-tanda menurunnya karir saya. Tapi, memangnya, sejak kapan saya mengejar karir, bukan?

Saya cuma berencana bahwa dalam lima tahun bekerja, saya sudah bisa menjabat sebagai manajer. Dua tahun kemudian, Kepala Divisi. Lalu di usia tigapuluh lima, menjadi Direktur Utama termuda dalam sejarah perusahaan.

Tapi, kemudian apa?


Saya tahu bahwa ujung-ujungnya, saya hanya akan merasa hampa. Makan yang terenak adalah sewaktu perut lapar. Setelah penuh terisi…?
Karena itulah, tadi malam saya banyak berpikir dan berpikir. Larut saya dalam alam pikiran yang saya ciptakan sendiri. Sampai-sampai, mengantuk saya dibuatnya. Tahu-tahu, saya sudah terbangun jam lima pagi. Lupa apa saja yang dipikirkan semalam.

Sampai akhirnya saya temukan sebuah surat yang ditujukan kepada saya. Si pengirim adalah seorang kawan lama. Teman dekat di masa lalu. Sahabat terbaik. Manis dia punya sikap, cantik dia punya wajah. Sopan pula tutur katanya. Kalau sedang bicara, semua orang pasti diam memperhatikan. Jika menangis, semua orang siap memukuli si penyebab kesedihan. Jika lapar, semua yang bisa dimakan, dia makan.

Di dalam surat tesebut, dia menulis begini:

Andi, setiap kali kamu merasa hampa… setiap kali kamu merasa kehilangan arah dan tujuan, maka cobalah kamu pejamkan mata sesaat. Lalu tanyakan dirimu: Memangnya, selama ini, kamu punya arah dan tujuan?


Nah…

Setelah dipikir-pikir, rupa-rupanya memang selama ini tidak pernah saya tetapkan arah dan tujuan hidup. Selidik punya selidik, saya serasa berjalan hanya mengikuti langkah kaki. Lurus dan belok bisa kapan saja, di mana saja, terserah saya. Atau bisa juga dibilang, tujuan saya hanyalah target 1-3 tahun di depan.

Tidak.

Saya tidak sedang merasa hampa. Tidak pula resah.
Tadi malam, saya hanya berpikir bahwa… mungkin sudah waktunya menyusun sebuah grand planning hidup di masa depan. Tahun ini, tiga tahun lagi, sepuluh tahun ke depan. Masa pensiun. Pasca pensiun…

Dikubur di mana….

Kapling sorga atau neraka…

*sigh…

Hidup macam apa yang selalu disesuaikan dengan rencana?
Tidak ada yang lebih membosankan dari sebuah film yang alur dan endingnya mudah tertebak…

Dalam satu setengah tahun ke depan, saya harus sudah resign.





“I put all my genius into my life; I put only my talent into my works.”

[Oscar Wilde]

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan