Pergi, Jangan, Jangan Pergi
bandung adalah setetes embun
yang tergelincir dari dedaunan
setelah hujan turun semalam
juga matahari pagi
yang tak pernah disambut hangat
oleh penghuninya
bandung adalah santai
dan terlambat itu biasa saja
sekaligus macet, semrawut
dengan sistem lalu-lintas yang ruwet
bandung adalah hijaunya pinus
merah bunga mawar
dan warna-warni lampu malam
ditambah hitam asap knalpot
tercampur aroma sampah kota
yang sering lupa terangkut
bandung adalah sejuk, damai, tenang
yang terusik hingar-bingar
para geng motor
bandung adalah derai tawa dan air mata
plus amarah viking
seusai persib kalah tanding
bandung adalah surga berbelanja
tempat lidah berwisata
dan perut dimanja
awal kisah-kisah cinta romantis
juga perselingkuhan terjadi di sana
bandung adalah sarang seniman
penulis dan cendikiawan
termasuk tanah kelahiran pemusik
yang kemudian ditinggal pergi
demi nasib lebih baik
bandung adalah kota pelajar
dan pusat pendidikan
yang juga minim lapangan pekerjaan
bandung adalah paradoks
terkadang dibenci,
tidak jarang dirindu
Sewaktu kuliah,
saya begitu kukuh untuk berjuang di kota ini, tidak sekedar bertahan. Tapi
menurut Google Search, yang saya cari tidak ada di Bandung. Haruskah saya
tinggalkan ini semua? Demi…?
Pergi, jangan, jangan pergi…
“Nobody
can go back and start a new beginning, but anyone can start today and make a
new ending.”
[Maria Robinson]
Bandung, 24 Desember 2008