Onta

“Andi, apakah setelah menikah nanti kamu akan selingkuh?”



Tadi malam, pertanyaan tersebut diajukan kepada saya oleh seorang calon ibu yang tengah hamil tiga bulan. Bukan. Bukan saya si pelaku penghamilan, tapi suaminya sendiri, tentu saja. Saat ini si suami sedang bertugas di negeri nabi berasal. Tak perlulah kita lakukan test DNA. Buang-buang waktu dan uang berharga.

“Tidak.”

Begitulah jawaban saya. Saya menjawabnya begitu cepat. Sangat cepat. Kurang dari satu detik. Tanpa menimbang. Tanpa berpikir. Tanpa merengut, menggerakkan alis, atau mengerutkan dahi. Kuping saya tidak bergerak dan sudut mata tidak berkedut. Air muka saya tidak berubah. Refleks saja. Seperti seorang jagoan silat yang menangkis serangan tiba-tiba dari arah belakang.

”Andi bohong.”


Begitulah reaksi si penanya. Cepat juga. Seakan-akan, dia sudah menyiapkan opsinya sejak awal. Jika jawaban Ya, maka begini. Jika Tidak, maka begitu. Bagai jagoan kungfu yang bisa menangkis semua jurus musuh. Rupa-rupanya beliau memang tidak sedang bertanya. Atau sekedar iseng-iseng survey belaka.

Beliau sedang bimbang dengan apa yang coba diyakininya. Dilanda ragu. Bingung dan cemas. Khawatir. Gundah. Gulana.

Si calon ibu sudah saya kenal sejak beliau masih duduk di kelas lima SD. Saya menyaksikan sendiri bagaimana dia tumbuh dan membesar. Tinggi dan melebar. Selama tahunan, beliau memang sudah kenyang dengan bualan saya. Bukan buaian. BUALAN. Ibarat berjalan, selalu saja dia terjatuh di lubang-lubang yang saya buat.

Kemudian kali ini dia menuduh saya berbohong.

”Laki-laki kan di mana-mana juga sama. Termasuk Andi.”

Dengan cepat saya bilang begini,

”Kamu boleh saja menuduh saya kelak akan selingkuh. Tapi, jangan sekali-kali menyamakan saya dengan laki-laki kebanyakan.”

Sejujurnya, saya sendiri tidak begitu mengerti akan apa yang saya bilang di atas. Sungguh. Karena, lagi-lagi, yang berperan dalam menjawabnya adalah sensor saraf sumsum tulang belakang. Refleks belaka. Apakah artinya,

Saya memang pembohong, tapi saya tidak akan pernah berselingkuh.

Atau,

Selingkuh saya berbeda dengan selingkuh laki-laki kebanyakan.

Sungguh. Saya tidak tahu mana yang benar. Mungkin sama saja. Mungkin beda. Ah, tidaklah patut saya berpusing-pusing dalam masalah ini. Lain kali saja saya pikirkan lebih jauh.

Yang genting saat ini adalah bahwa si ibu hamil muda sedang butuh sokongan moral dari saya. Mungkin dalam pikirannya, jika seorang Andi saja tidak selingkuh, maka dengan sendirinya, sang suami yang baik hati itu tentu akan setia. Dan beliau dapat menunggu suami pulang dengan hati yang tenang.

*sigh…

Tak apa-apa. Biarlah kali ini saya dijadikan sebuah patokan. Sebuah standard. Barometer di mana saya berada pada nilai minimal. Maka dengan penuh kesabaran, dedikasi dan hati yang tulus, saya katakan padanya bahwa,

”Saya seorang yang setia. Takkan berselingkuh ria.”

”Apa buktinya?”

”Selama lebih dari 13 tahun, saya masih setia berteman dengan kakakmu, bukan?”

”Apa hubungannya?”

”Sama lelaki saja saya setia, apalagi dengan seorang perempuan cantik, seksi, solehah, dan pandai yang kelak saya nikahi?”






Dan si ibu hamil yang sudah bukan gadis itu pun kini merasa lebih mantap dalam menunggu sang suami pulang.

Jangan lupa oleh-oleh bagian untuk saya, ya.

Onta.


“Only the person who has faith in himself is able to be faithful to others.”
[Erich Formm]

Bandung, 10 Desember 2008

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan