Airmata, Aisa
Teruntuk Aisa,
Bandung , 15 Desember 2008
seorang anak perempuan
yang tak pernah bisa berhenti
untuk dicintai
Aisa Sayang, ada yang berbeda kali ini.
Bapak
menangis tadi malam.
Jika ditanya kenapa, Bapak akan kesulitan
menjawabnya. Kepedihan selalu datang dan pergi, atau datang dan hinggap. Entah
harus memulai dari mana. Segala sebab-musabab tidaklah sesederhana kata-kata.
Seperti persamaan polinomial pangkat enam saja. Siapapun akan kesulitan mencari
akar-akarnya.
Meski demikian, alasan apa pun tidaklah penting,
Aisa. Bukankah airmata juga merupakan pelembut jiwa? Lalu, kenapa kita harus
disibukkan dengan mencari sumbernya?
Kamu tahu, Sayang. Bapak berani bertaruh bahwa
kamu nyaris tidak pernah menemukan ibumu menangis. Bukan. Dia memang tangguh,
tapi bukan karena itu. Ibumu adalah seorang perempuan yang sangat pandai dalam
menyembunyikan kesedihannya. Teramat pandai. Dia bisa saja tersenyum dan
tertawa di keramaian orang, padahal mungkin saja kesedihan tengah mengendap di
dasar hatinya. Bapak saja baru satu-dua kali melihat air mata ibumu mengalir.
Itu pun akibat tingkah-polah ayahmu ini.
Ya. Bapak kadang-kadang menyebalkan juga, Aisa.
Maafkan.
Tapi Sayang, ada yang berbeda kali ini.
Bapak menangis tadi malam.
“Perhaps our eyes need to be washed by our tears once in a while, so that
we can see life with a clearer view again.”
[Alex Tan]
Comments