Airmata, Aisa

Teruntuk Aisa,
seorang anak perempuan
yang tak pernah bisa berhenti
untuk dicintai

Aisa Sayang, ada yang berbeda kali ini.
Bapak menangis tadi malam.

Jika ditanya kenapa, Bapak akan kesulitan menjawabnya. Kepedihan selalu datang dan pergi, atau datang dan hinggap. Entah harus memulai dari mana. Segala sebab-musabab tidaklah sesederhana kata-kata. Seperti persamaan polinomial pangkat enam saja. Siapapun akan kesulitan mencari akar-akarnya.

Meski demikian, alasan apa pun tidaklah penting, Aisa. Bukankah airmata juga merupakan pelembut jiwa? Lalu, kenapa kita harus disibukkan dengan mencari sumbernya?

Kamu tahu, Sayang. Bapak berani bertaruh bahwa kamu nyaris tidak pernah menemukan ibumu menangis. Bukan. Dia memang tangguh, tapi bukan karena itu. Ibumu adalah seorang perempuan yang sangat pandai dalam menyembunyikan kesedihannya. Teramat pandai. Dia bisa saja tersenyum dan tertawa di keramaian orang, padahal mungkin saja kesedihan tengah mengendap di dasar hatinya. Bapak saja baru satu-dua kali melihat air mata ibumu mengalir. Itu pun akibat tingkah-polah ayahmu ini.

Ya. Bapak kadang-kadang menyebalkan juga, Aisa. Maafkan.

Tapi Sayang, ada yang berbeda kali ini.
Bapak menangis tadi malam.




“Perhaps our eyes need to be washed by our tears once in a while, so that we can see life with a clearer view again.”

[Alex Tan]

Bandung, 15 Desember 2008

Comments

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan