I Love Goat

Dari semua hewan yang terdapat di seluruh permukaan bumi, saya sangat bersyukur Tuhan menciptakan kambing.

Sate, steak, gulai. Ah, sedapnya.

Sampai-sampai saya berpikir bahwa… ini mungkin hidangan kiriman dari warung-warung di surga. Pernah suatu kali saya habiskan empatpuluh tusuk sate kambing dalam waktu kurang dari satu jam. Saya potong-potong sendiri itu kambing. Saya tusuk-tusuk penuh nafsu. Lalu saya panggang. Bumbu maranggi tidak terlupa disertakan: kecap, bawang, cabe ijo. Malam harinya dilanjutkan dengan pesta lamb chop. Jangan tanya berapa yang masuk ke dalam perut.

Idul Adha dua tahun lalu. Salah satu hari terbaik di sepanjang hidup saya.


Tapi siapapun bisa saja bilang,
”Saya juga sangat suka kambing, Andi.”
”Sate kambing favorit saya, lho. Bener!”
”Saya sangat suka steak kambing.”

Komentar saya terhadap mereka adalah,
”Huh! Yeah, rite!!!”

Berkata, ”Saya suka kambing”, menurut saya tidak ada bedanya dengan ngomong ”Saya suka kamu”, atau, ”I love you.”

Kebanyakan omong kosong belaka tanpa disertai pembuktian terlebih dahulu. Tanpa sertifikat lulus uji. Berkata tanpa benar-benar mengerti akan konsekuensinya, tanpa mengukur berapa kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk melunturkan perasaan itu.

Berbeda sekali dengan saya. Ketika saya nyatakan bahwa saya suka kambing, maka itu memang benar demikian. Bagaimana lagi, saya sudah menunjukkan bukti-bukti nyata.

Pertama, sejak duduk di bangku SD, saya sudah terbiasa memilih sendiri kambing yang akan dipotong sebagai hewan kurban. Saya berkeliling tanpa lelah di sepanjang Jalan Katamso dan Pahlawan Bandung sampai diperoleh kambing terbaik yang sesuai dengan harganya. Tanduk, paha, tinggi, bulu. Saya teliti semua. Termasuk agresivitas mereka. Semakin suka menyeruduk, semakin yahud.

Ke dua, sejak SMA, saya sudah terbiasa memotong sendiri leher mereka, mengulitinya, dan memotongnya hingga kecil-kecil. Tangan saya sudah sering berlumuran darah mereka.

Ke tiga, di masa kuliah, selama dua tahun berturut-turut, saya berperan sebagai pedagang kambing. Dari mulai mencari suplier, membangun kandang, berhadapan dengan konsumen, sampai mengantarkan para kambing ke tempat-tempat pemotongan. Pakai apa? Pakai motor. Saya duduk dibonceng. Supir tentu depan. Sementara si kambing saya peluk di tengah. Kami sungguh mesra. Orang-orang di sepanjang jalan selalu menatap kami penuh kagum dan iri.

Ke empat, di masa yang sama, saya jual kotoran mereka yang banyaknya satu bak mobil penuh kepada para petani.

Ke lima, ini yang paling penting.
Tidak.Saya tidak bau kambing.

Karena itu, siapa diantara mereka yang berani bilang bahwa, ”Saya cinta kamu”, eh, ”Saya suka kambing”, tanpa bukti-bukti terdahulu? Sini, saya seruduk!

Selamat Idul Adha 1429H
Mari kita berpesta daging…

“Fear the goat from the front, the horse from the rear, and man from all sides.”
[Anonimous]

Garut, 04 Desember 2008

Popular posts from this blog

Always, Laila (Repackaged)

Maaf, Tak Diundang

Soerat Oendangan