Memory Salon Memory
ada
yang mengetuk di balik pintu
desau
angin, rintik hujan, gemerisik daun
mengirim
berita
kau
takkan pernah tiba
siapa yang mengendap di atas atap?
tikus rumah dan kucing malam, rupanya
kata mereka
kau tidak lagi singgah
lalu apa yang mengintip di balik jendela?
sejenis jin, mirip manusia, jelek rupa
bisiknya
lupakan saja
Dengan segala
kerendahan hati, saya akui bahwa Tuhan telah menganugerahi saya daya ingat yang
luar biasa. Bukan pada nama, tanggal atau hafalan. Juga kesalahan orang lain.
Apalagi tagihan hutang. Hutang bukan untuk diingat, tapi… dibayar.
Yang saya maksud
di sini adalah, daya ingat saya akan sebuah kejadian sangat sulit dicari
tandingannya. Pada detil-detil kecil. Aroma yang tercium. Cara makan.
Menjentikkan jari. Mengibaskan rambut. Sifat dan sikap.
Untuk mengingat,
saya cukup menjatuhkan diri. Tapi untuk melupakan, saya harus merangkak.
Tulisan dengan
huruf miring di atas saya buat empat tahun setengah yang lalu. Saya masih
begitu muda waktu itu. Masih lucu-lucunya. Bikin gemas, pokoknya. Tapi, tidak.
Bukan ini yang hendak saya ceritakan. Memang penting, tapi lain kali saja saya
beberkan lebih dalam.
Saya menulisnya
di kantin kampus. Waktu itu, belum setahun sejak saya lulus kuliah. Saya duduk
sendiri di salah satu bangku. Perut sudah terisi, tenggorokan sudah basah.
Rokok menyala setengah. Kantin cukup ramai oleh mahasiswa. Juga mahasiswi.
Sebagian dari mereka cukup cantik, enak diintip diam-diam. Sebagian lagi cantik
sekali, sedap dipandang.
Tiba-tiba saja
muncul sebuah ide brilian di kepala saya. Sebuah hasil pemikiran yang sangat
jenius. Sulit dicarikan tandingannya. Patut diberi penghargaan. Layak
mendapatkan Oscar atau Nobel. Jika dibukukan, saya yakin Pulitzer menanti.
Minimal Ramon Magsaysay Award pasti di tangan.
Saya tidak perlu
susah payah berusaha untuk melupakan. Tapi saya cukup merekayasa memori baru.
Saya ciptakan ingatan yang berbeda. Yang jauh lebih menyenangkan, tentu saja.
Dengan demikian, hal abu-abu yang pernah saya alami bisa berubah penuh warna
ketika saya mengenangnya.
Mereka bilang itu
menipu diri, saya bilang ini menghibur hati. Mereka mengejek bahwa saya
mengkhayal, saya katakan ini imajinasi. Mereka bilang hadapi saja kenyataan,
saya jawab: jangan ganggu. Saya sedang bermimpi.
“Memory
can change the shape of a room; it can change the color of a car. And memories
can be distorted. They’re just an interpretation, they’re not a record, and
they’re irrelevant if you have the facts.”
[Leonard Shelby, Memento]