Untuk Rini di Cimahi
Bandung, 25 Oktober 2005
Dear, Rini.
Beribu maaf, kamu harus menunggu begitu lama untuk
dapat menerima surat balasan ini. Kebiasaan buruk menunda segala sesuatu memang
sudah menjadi kekurangan saya yang paling mendasar.
Sekali lagi… maafkan.
Ada kelegaan luar biasa sewaktu saya membaca surat
kamu. Ternyata, kamu menyukai novel itu. Bahkan, kamu ceritakan juga tentang
tokoh Pram yang kamu suka. Sungguh, bertambah lagi satu alasan bagi saya untuk
terus menulis. Terimakasih.
Jadi, bagaimana kabar kamu? Sudah tidak jemu lagi
menunggu?
Setiap orang pernah mencintai dan kemudian
terluka. Termasuk saya, tentunya. Mungkin sudah dua-tiga kali. Bahkan mungkin
lebih. Tapi, itu tidak berarti membuat saya terbiasa untuk mengalaminya. Tetap
saja terasa perih. Sampai saat ini pun, gerimis di hati saya masih merintik.
Terkadang menggelitik.
Sekedar berbagi, always, Laila saya tulis ketika
diri ini merasa begitu sepi. Saya merasa sendiri dan kehilangan akan sesuatu
yang belum sempat saya punya. Sesuatu yang istimewa dan berharga. Sesuatu, yang
mereka menyebutnya seseorang. Dan kamu sudah mengenalnya dalam tulisan saya,
bukan? Rupanya, tanpa sadar, seseorang itulah yang telah menumbuhkan inspirasi
dalam diri saya untuk menulis cerita tersebut.
Bagaimana, Rin? Kamu menyukai Laila?
Dear, Rini.
Memang benar bahwa menulis surat sudah menjadi hal
yang ditinggalkan. Tapi, entah kenapa, menerima sepucuk surat dengan tertera
nama kita terasa jauh lebih menyenangkan dibandingkan sekedar e-mail atau sms.
Jadi, tidak ada rasa keberatan untuk membaca dan membalas surat kamu.
Salam,
Andi Eriawan
Nah, Rini.
Maafkan, saya ya.
Setelah tiga
tahun yang lalu saya tulis surat balasan ini,
saya belum juga
sempat ke Kantor Pos…
Sempat, sih.
Empat-lima kali.
Tapi…
Ah, pokoknya
maafkan saja saya, lah.
Kita kan ’
akrab.
“Fighters have rules,
too. Friendship, trust, integrity. Always keep your promise. Without rules we
wouldn’t survive long.”
[Yu Shu Lien, Crouching Tiger Hidden Dragon]